Ponpes Ngruki Nilai Aparat Tak Proporsional dalam Penanganan Terorisme

Ponpes Ngruki Nilai Aparat Tak Proporsional dalam Penanganan Terorisme

Dalam penanganan terorisme, aparat dinilai Ponpes Islam Al Mukmin Ngruki, Solo, tidak proporsional. Mereka bertanya-tanya apakah standard operating procedure (SOP) yang berlaku adalah langsung menghabisi siapa saja yang terindikasi teroris.

“Contohnya di Ciputat kita mendengar bahwa Densus langsung menghabisi, kenapa mereka diadili sebelum ada proses hukum. Padahal kalau korupsi tidak seperti itu. Padahal mereka juga bangsa kita,” ujar Direktur Ponpes Al Mukmin, Ustad Wahyudin.

Jumpa pers digelar ruang pers Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis (13/9/2012). Hadir pula Wamenang Nasaruddin Umar dan beberapa alumnus Ponpes Al Mukmin dalam acara itu.

Menurut Ustad Wahyudin, tindakan para teroris memang keliru, karena itu mereka butuh pembinaan untuk kembali ke jalan yang benar. Sebab bila orang-orang seperti itu dengan serta merta dihabisi maka akan muncul dendam berkepanjangan.

“Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) menjadi momok yang disegani, ditakuti, bahkan dibenci. Kita tidak mau ada penzaliman, orang yang belum tentu bersalah sudah diadili,” lanjut pria berjenggot putih ini.

Dia juga menolak siapapun yang berniat menunggangi Ponpes Al Mukmin dengan aneka kepentingannya. “Kita sudah punya khittah, apapun yang membelokkan, menghalangi kegiatan pendidikan kami, kalaupun mau berubah harus melalui rapat musyawarah,jadi kami menolak ditunggangi,” tutur Ustad Wahyudin.

Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, tersangka teroris yang tewas saat baku tembak dengan polisi, diketahui pernah bersekolah di ponpes ini. Namun Ustad Wahyudin menegaskan pihaknya tidak pernah mengajarkan dan mengarahkan kekerasan kepada para santri.

Menurutnya, Farhan belum lulus pendidikan Ponpes Al Mukmin. Sebab Farhan baru menyelesaikan pendidikan hingga SMP. Sedangkan yang dimaksud lulus adalah bila menyelesaikan pendidikan sampai SMA.

“Setiap santri yang tamat, kami kembalikan kepada bapak ibunya dan menjadi tanggungan individu. Tapi kalau 3 tahun itu belum tamat. Saya juga tidak tahu dia keluar mendapatkan pelatihan di Moro atau di mana,” papar Ustad Wahyudin yang mengenakan jas hitam dan berpeci hitam ini.

Sedangkan Muchsin, imbuhnya, pemuda itu baru saja lulus. Dia menyayangkan aparat yang terburu-buru menembak mati Muchsin.

“Kalau Muchsin, anak itu kan baru lulus kok bisa ditembak mati. Karena kami melihat Muchsin itu kalau dimarahi saja langsung menangis. Apa karena prosedur? Di situ kejanggalan,” ucap Ustad Wahyudin.(fq/detik)