Portal Aduan ASN Dikhawatirkan Jadi Alat Represi Pemerintah

“Ya kita ada mekanisme membela diri sehingga tidak semata-mata langsung diberi sanksi.”

“Jadi tugas BNPT karena punya banyak informasi mendalam tentang kegiatan-kegiatan radikalisme. Paling tidak BNPT bisa kita minta kroscek data-data yang ada, jadi kalau kita terima laporan kita cek ke BIN atau BNPT,” jelasnya.

Jika nantinya ASN terlapor terbukti melakukan tindakan radikalisme, kata Dwi Wahyu, maka ia akan dijatuhi sanksi mulai dari ringan sampai berat yakni dikeluarkan.

“Kalau nyata-nyata menentang Pancasila sudah pasti sanksi berat, harus dikeluarkan dari ASN, karena ASN harus menjadi penegak Pancasila.”

Lebih dari itu penanganan radikalisme ASN, kata Dwi Wahyu, juga mengarah kepada Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang kini sedang berjalan. Di mana pemerintah telah menyiapkan beberapa lapisan tes.

Mulai dari memantau unggahan di media sosial hingga meminta pertimbangan polisi ketika mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

“Waktu keluarkan SKCK, kalau bisa sudah mempertimbangkan aspek itu. Lalu ketika menjalani tes Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Kalau di SKB ada tes wawancara di instansi masing-masing. Kita harapkan institusi itu melakukan penelusuran rekam jejak calon dengan berbagai cara,” jelasnya.

Dwi Wahyu pun memastikan bagi CPNS yang ketahuan mendukung atau terlibat dalam ideologi anti-NKRI dan Pancasila di media sosial, akan langsung dinyatakan tidak lolos.

Berikut sebelas kriteria pelanggaran yang bisa dilaporkan lewat aduanasn.id:

1. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

2. Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio, atau video melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar golongan.

3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1) dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya).

4. Pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.

5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial.

6. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah.

7. Keikutsertaan pada kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

8. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1) dan 2) dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di media sosial.

9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

10. Pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.

11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1) sampai 10) dilakukan secara sadar oleh ASN.

PNS: Tidak setuju ada kanal pelaporan

Hanna Meinita, seorang pegawai negeri sipil di lembaga pemerintah yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, mengaku tidak setuju dengan kanal pelaporan. Sebab batasan tentang radikalisme versi pemerintah, terlalu remeh dan tidak jelas.

“Kalau orang tersebut menulis yang jelas-jelas menyebarkan kebencian, okelah . Tapi kalau cuma memberikan like , itu kan tidak bisa. Karena ada kondisi misalnya enggak sengaja kepencet. Nah mau memvalidasi itu gimana?” ujar Hanna kepada BBC, Selasa (12/11).

Problem lain, kata Hanna, bentuk pelaporan berupa audio sulit dipastikan akurasinya.

“Laporan audio itu kan validasinya gimana? Untuk mengkurasi laporan itu gimana caranya?”

Hanna yang sudah hampir empat tahun berstatus PNS mengaku tak keberatan jika dipantau dan dikritik publik. Akan tetapi, kritik itu disertai masukan dan solusi. Bukan hanya melontarkan amarah.

“Kalau instansi kami sering banget terima kritikan. Memang itu kritikan terkait kinerja. Tapi bukan marah membabi buta ya,” tukasnya.

`Kanal pelaporan bentuk represi pemerintah kepada ASN`

Pakar administrasi negara dari Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, menilai kanal pelaporan ASN untuk penanganan radikalisme tidak diperlukan. Sebab kanal semacam itu tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara.

Di undang-undang ASN, pemantauan terhadap pegawai pemerintah dilakukan oleh internal pengawas yang dilakukan secara berjenjang. Jika ditemukan ada ASN yang terlibat, maka yang pertama harus dilakukan adalah pembinaan dan selanjutkan sanksi disiplin.

Maka, katanya, jika peran internal pengawas dianggap kurang semestinya dikuatkan. Bukan dengan membuat kanal pelaporan.

“Harus dipahami konsep utama dalam ASN adalah pembinaan. Sehingga ketika sesuatu terjadi, dilakukan pembinaan secara cepat, bukan begini [membuat kanal],” ujar Dian Puji Simatupang kepada BBC.

“Dan di negara mana pun, yang ditekankan aparat pengawas yang melakukan pengawasan berjenjang dengan memaksimalkan sistem pemeriksaan dan penegakkan disiplin. Hal itu secara aturan sudah lengkap. Jadi kenapa enggak dipakai? Itu justru lebih efektif,” sambungnya.

Sementara adanya kanal pelaporan menunjukkan pemerintah gagal membina para bawahannya. Yang lebih ia khawatirkan, kanal tersebut menjadi alat represi pemerintah lantaran dilakukan tanpa melewati mekanisme yang sudah ada. [vn]