PP Muhammadiyah: Jokowi Timbulkan Ketidakpastian dan Kekacauan Hukum

Eramuslim ā€“ Konstitusi memberikan kewenangan subjektif pada Presiden untuk menilai keadaan negara atau hal ihwal kegentingan yang memaksa, misalkan saja negara membutuhkan dasar dan pijakan hukum sementara UU tidak dapat dibentuk dengan segera. Atas pengertian subyektif itu Presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Perppu.

Subyektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” menjadi dasar diterbitkannya perpu. Akan tetapi subyektifitas Presiden harus dilandasi dengan prinsip obyektifitas sebagaimana telah dirumuskan oleh MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Begitu jelas ukuran obyektif yang memiliki tiga unsur sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden menjalankan kewenangan subyektifnya, yaitu: Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada dan terjadi kekosongan hukum, atau UU ada tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Terkait syarat obyektif pertama, Perppu tentang perubahan UU Ormas yang diterbitkan Jokowi pada hari Rabu (12/07) pekan kemarin dengan jelas belum dapat dikualifikasikan menjadi kebutuhan mendesak.

Dari segi subtansi, terbitnya Perppu adalah bagian untuk tuntaskan masalah hukum. Dalam konteks ini pengaturan materiil terkait masalah hukum ormas sudah diatur dalam UU Ormas. Artinya instrumen hukum telah tersedia, tidak tepat kemudian Pemerintah mengacaukan tatanan hukum yang sudah jelas dengan memberikan stigma situasi dan kondisi kekinian yang mendesak seolah-olah belum ada dasar pengaturannya lalu kemudian menerbitkan Perppu yang berujung mendelegitimasi UU ormas yang telah ada.

Dari segi waktu terbitnya Perppu untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat tidak pula harus merendahkan norma yang telah diatur dalam UU Ormas. Tahapan penyelesaian masalah hukum ormas telah diatur dengan detail dan memenuhi kapasitas cepat dalam arti merujuk tahapan dan tepat mewakili kapasitas subtansi demokrasi hukum yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

Terkait syarat obyektif kedua, sangat berlebihan jika Pemerintah katakan terjadi kekosongan hukum karena alasan UU yang mengatur belum ada atau UU sudah ada tetapi tidak memadai. Sepertinya Pemerintah yakin betul UU ormas yang sudah ada belum memadai sebagai kebutuhan yang mendesak secara cepat dapat mencabut izin ormas yang lakukan pelanggaran UU sehingga gegabah terbitkan Perppu perubahan UU ormas.

Secara tegas Pemerintah katakan di dalam Perppu No 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU ormas bahwa asas contrarius actus belum diadopsi dalam UU ormas, sehingga jika memakai UU ormas sebelum perubahan maka Pemerintah yang keluarkan izin ormas tidak dapat dengan sendirinya berwenang membatalkan atau mencabut izin ormas tersebut. Lalu kemudian Pemerintah berdalih UU ormas tidak efektif atau tidak memadai dalam menerapkan sanksi pencabutan izin secara langsung.

Konstruksi berfikir Pemerintah cukup keliru jika katakan UU ormas tidak menganut asas contrarius actus. Padahal secara jelas Pemerintah memiliki tahapan kewenangan dalam berikan sanksi dari teguran atau peringatan. Kemudian, ada tahap penghentian bantuan dana, pembekuan organisasi, hingga akhirnya dilanjutkan ke ranah pengadilan.

Apakah Pemerintah ingin mengatakan tahapan pencabutan izin ormas tersebut tidak memadai lalu kemudian dengan gegabah berdalih tegakkan asas contrarius actus lantaran kesulitan melewati tahapan mekanisme pencabutan izin ormas. Dalam konteks ini pemerintah telah menyelubungkan kebenaran hukum demi monopoli kewenangan yang berpotensi membajak demokrasi hukum itu sendiri. Jelas demokrasi hukum kita kembali dibayangi wajah orde baru dengan karakter monopoli kewenangan tanpa mau melawati proses pengadilan.

Pemerintah dengan menuding UU Ormas belum memadai lalu terbitkan perpu justru membikin ambigu hukum yang nyata. Dengan diterbitkannya Perppu tentang perubahan UU Ormas terdapat norma baru dalam Perppu yang tidak sinkron dan tumpang tindih dengan norma yang diatur dalam KUHP terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. Adanya tumpang tindih ini bisa justru membuat ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) bahkan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring).

Dari penjelasan diatas, lalu dimana makna sebenarnya telah terjadi kekosongan hukum yang dikatakan UU yang telah ada tetapi tidak memadai. Nyaris tidak ada paham ā€œkekosongan hukumā€ disitu. Bahkan tidak ditemukan sedikitpun “suatu keadaan kosong atau ketiadaan UU yang mengatur tertib hukum dalam masyarakatā€. Yang paling benar adalah bukan perihal kekosongan hukum tapi Pemerintah begitu ngotot mengisi kekosongan monopoli kewenangan langsung agar dapat cabut dan bubarkan ormas. Terang Perppu tersebut tidak memenuhi prasayat obyektifitas karena monopoli kewenangan tanpa mau melalui proses pengadilan.

Terkait syarat obyektif ketiga merupakan penegasan dari syarat yang pertama dan kedua sebelumnya. Penegasannya ialah karena keadaan mendesak dan terjadi kekosongan hukum. Jalan keluar atas itu semua hanya bisa ditempuh terbitkan perpu, sebab jika membuat UU prosedurnya akan memakan waktu lama. Sejak Perppu perubahan UU ormas diterbitkan tidak ditemukan sedikitpun paramater yang jelas yang dipersyaratkan yaitu keadaan mendesak dan keadaan terjadi kekosongan hukum.

Dengan demikian, Perppu tentang perubahan UU Ormas meskipun diterbitkan atas kewenangan subyektif Presiden bukan berarti kesampingkan prinsip obyektifitas yang melandasinya.

Terhadap hal itu, Perppu ini merupakan bentuk kegagalan Jokowi dalam merawat demokrasi hukum yang mengedepankan prinsip keseimbangan kewenangan. Sangat tidak demokratis untuk cabut izin ormas yang langgar aturan apabila ormas yang bersangkutan tidak diberi kesempatan membela diri dan membuktikan eksistensinya sesuai semangat konstitusi. Tempat yang paling mulia mencari kebenaran dari segala sisi kelemahan kewenangan yang kita miliki hanya ada di pengadilan.

Nalar hukum Perppu ini hanya kedepankan monopoli kewenangan bukan untuk tegakkan standar moral tertib hukum yang merawat demokrasi demi menjamin hidup berserikat dan berkumpul. (Faisal/Ram)