Eramuslim.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada awal Juni 2025. Salah satu poin paling kontroversial dalam revisi ini adalah diperluasnya kewenangan prajurit aktif TNI untuk menempati 26 jabatan sipil, termasuk di kementerian dan lembaga negara non-militer.
Kebijakan ini langsung memantik respons keras dari berbagai kalangan, termasuk aktivis, akademisi, dan mahasiswa. Mereka menilai kebijakan tersebut berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer—sebuah warisan Orde Baru ketika militer memainkan peran ganda, tak hanya di bidang pertahanan, tapi juga dalam urusan pemerintahan dan politik.
“Langkah ini bisa mengaburkan batas antara peran sipil dan militer yang selama lebih dari 20 tahun kita jaga. Ini ancaman serius bagi demokrasi,” kata seorang peneliti dari lembaga HAM Imparsial.
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan membela revisi tersebut dengan alasan efisiensi birokrasi dan pentingnya stabilitas nasional. Mereka menyatakan bahwa jabatan-jabatan sipil yang dimaksud hanya yang berkaitan langsung dengan urusan pertahanan dan keamanan negara.
Presiden Prabowo Subianto turut menyatakan dukungannya terhadap revisi ini. Ia menegaskan bahwa militer Indonesia kini telah berubah menjadi institusi yang profesional dan setia pada konstitusi. “TNI kita sekarang berbeda dari masa lalu. Mereka profesional, disiplin, dan siap membantu negara dalam bidang-bidang strategis,” ujar Prabowo usai rapat paripurna di DPR.
Kendati pemerintah memberikan jaminan, berbagai kelompok masyarakat sipil tetap menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi ini membuka celah kembalinya dominasi militer di sektor sipil. Banyak pihak menilai bahwa semangat reformasi 1998 yang menekankan supremasi sipil atas militer kini berada dalam posisi genting.
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) secara tegas menolak pengesahan revisi UU TNI. Melalui koordinatornya, Satria Unggul, KIKA menyerukan agar masyarakat sipil bersatu mendesak pembatalan undang-undang tersebut, serta mengingatkan pentingnya menjunjung tinggi prinsip negara hukum, demokrasi, dan supremasi sipil.
Sumber: Komspasiana.com