Eramuslim.com – Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka makin panas. Setelah Sekjen Gibranku, Pangeran Mangkubumi, membuat analogi “anechoic chamber” — ruang senyap tempat mendengar detak jantung sendiri — sebagai sindiran atas polemik yang dianggapnya minim substansi, Rocky Gerung justru membalikkan logika itu dengan telak.
Dalam acara Rakyat Bersuara di iNews (11 Juni 2025), Rocky menilai bahwa ruang senyap yang dimaksud justru diciptakan sendiri oleh kekuasaan, terutama oleh lingkaran Istana Jokowi. “Justru karena ruang senyap itu diciptakan, rakyat akhirnya tidak bisa bicara. Kritik disaring, suara dibungkam, semua diarahkan,” ucap Rocky, menyindir tajam analogi Pangeran.
Rocky juga menyoroti bahwa semakin banyaknya pihak yang ikut bersuara soal pemakzulan — dari purnawirawan, mahasiswa, emak-emak, hingga media internasional — justru membuktikan bahwa ada yang tidak beres di negeri ini. “Kalau nggak penting, kenapa semua orang bicara?” tegasnya.
Sementara itu, Mahfud MD — pakar hukum tata negara dan mantan Menkopolhukam — menilai argumentasi hukum untuk memakzulkan Gibran cukup kuat. Ia merujuk pada Pasal 7A UUD 1945 yang menyebut lima alasan pemakzulan: pengkhianatan negara, korupsi, suap, kejahatan berat, dan perbuatan tercela. Mahfud menegaskan bahwa istilah “perbuatan tercela” bisa sangat fleksibel dan dipengaruhi oleh penilaian moral dan sosial masyarakat.
Mahfud merinci lima alasan konstitusional pemakzulan, yakni empat pelanggaran hukum dan satu kategori perbuatan tercela, ditambah satu alasan keadaan tertentu yang menyebabkan pejabat tak lagi memenuhi syarat jabatan. Apa saja itu? Satu, melakukan pengkhianatan terhadap negara; kedua, terlibat korupsi; penyuapan; kemudian kejahatan berat. Kejahatan berat itu biasanya disamakan dengan kejahatan yang diancam dengan lima tahun penjara ke atas. Lalu, perbuatan tercela, dan satu lagi soal keadaan,” kata Mahfud.
Ia bahkan menyebut contoh ekstrem di Thailand, di mana perdana menteri bisa dicopot hanya karena ikut lomba masak. “Jadi, kalau masyarakat merasa pemimpin mencederai martabat, itu bisa jadi dasar kuat,” kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa alasan “keadaan” dalam Pasal 7A bisa mencakup kondisi seperti kehilangan kewarganegaraan, sakit permanen, atau menyatakan mengundurkan diri. “Misalnya tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden atau wakil presiden, apa misalnya? Sakit permanen yang (disampaikan) oleh dokter, atau kehilangan kewarganegaraan, atau malah minta berhenti,” imbuh dia.
Namun Mahfud juga mengingatkan bahwa hukum adalah produk politik. Meski dasar hukum kuat, pemakzulan tetap akan ditentukan oleh dinamika di DPR dan MPR — alias, seberapa besar keberanian para wakil rakyat untuk berpihak pada suara publik, bukan pada kekuasaan.
Sumber: Kompas.com dan SINDO News Nasional