Samik Ibrahim: Ulama Minang Pemrotes Pemerintah Kolonial

Eramuslim – Generasi Minang kelahiran 1970an hingga kini, tidak banyak yang mengenal sosok Samik Ibrahim. Laki-laki kelahiran Nyiur Gading Koto Baru Mambang, Kabupaten Pesisir Selatan pada  8 Agustus 1908 dikenal luas dalam lembaran sejarah lokal Minangkabau, terutama pada masa pergerakan nasional dan kemerdekaan.

Ia terlahir dari pasangan Kaling gelar Chatib Ibrahim dan Siti Sanafiah yang berasal dari daerah yang sama, yakni Koto Baru Kambang (Riwayat Hidup tertanggal 17 April 1951). Gelar Chatib yang melekat pada nama Kaling yang berprofesi sebagai petani itu, menunjukkan bahwa posisinya di Nagari Kambang terhormat –terutama dalam mengurus segala persoalan yang berhubungan dengan Islam.

Pada usia 7 tahun, Samik demikian ia akrab dipanggil telah bersekolah di Volk School di Medan Baik Kambang. Setamat dari sekolah desa itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Schkakel School di Painan. Semasa menikmati pendidikan kolonial Belanda itu, Samik tetap belajar di Surau. Sebagaimana kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau, belajar bahasa Arab, Alquran, kitab gundul sampai belajar silat yang dipusatkan di Surau Nagari Kambang.

Memasuki usia 14 tahun, Samik mengikuti Cursus Volk Onderwijs (CVO) di Padang. Ada satu motivasi pemuda Samik di tahun 1922, yakni ingin menjadi calon guru dan memberikan pencerahan kepada anak-anak di negeri kelahirannya dari buta huruf latin dan pengetahuan umum.

Sejak memasuki kursus guru, Samik terjun dalam organisasi lokal pergerakan, seperti Serikat Seia Sekata – Serikat Teling di Nagari Kambang. Perkumpulan Pengajian Jamiatul Islamiyah di Amping Parak dan Kambang. Sejak terjun dalam pergerakan dan membela hak kaum tani di Serikat Tolong Bertolong Perdagangan Padi Pribumi mendapat sorotan tajam dari pemerintah Kolonial Belanda.