Sensor Film Lindungi dari Penetrasi Budaya Asing yang Merusak

Mahkamah Konstitusi menggelar hari ini sidang pleno pengujian UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman terhadap UUD 1945, yang menghadirkan 13 ahli yang merupakan praktisi pertelevisian dan tokoh agama. Permohonan uji materiilini diajukan oleh lima orang pemohon yang merupakan insan perfilman antara lain, Annisa Nurul Shanty K. (Aktris), Muhammad Rivai Riza (Produser film), Nur Kurniati Aisyah Dewi (Produser film), Lalu Rois Amriradhiani (Penyelenggara Festival Film), dan Tino Saroengallo (Pengajar dan Sutradara Film).

Dalam petitumnya pemohon meminta Majelis Hakim Pasal 1 angka 4 Bab V, Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), Pasal 34 Ayat (1), (2), (3), Pasal 40 Ayat (1), (2), (3), dan Pasal 41 ayat (1) huruf b UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan tentang Penyensoran melanggar Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 serta menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketua Lembaga Sensor Film Titi Said mengatakan bahwa LSF berupaya membentengi nilai luhur dan budaya bangsa, ini dikarenakan didorong oleh adanya penetrasi budaya luar yang destruktif yang lama-lama akan menyebabkan abrasi terhadap budaya bangsa sendiri.

"Apabila mekanisme sensor yang dilakukan oleh LSF dianggap bertentangan dengan Undang-Undang, maka siapa yang akan menyaring penetrasi budaya luar melalui film-film itu, "ujarnya di sela-sela persidangan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis(23/1).

Dalam persidangan sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan bahwa pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi dan atau dalil-dalil dalam permohonan aquo sebagaimana telah diuraikan. Karena menurut pemerintah ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 angka (4), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 40 dan Pasal 41 ayat (1) huruf B Undang Undang No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman adalah dalam rangka perlindungan umum General Prevention terhadap masyarakat pada umumnya guna mendapatkan informasi film dan reklame film yang baik, sehat dan mendidik.

Jero Wacik juga menegaskan, film dan reklame film yang diproduksi, diedarkan, dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada masyarakat atau penonton diharapkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya, moral, ketertiban umum maupun nilai-nilai agama.

"Penyensoran yang dilakukan oleh LSF terhadap film dan reklame film yang tidak sesuai dengan nilai-nilai seni budaya, moral, ketertiban umum, kesusilaan dan nilai-nilai agama, tidak dapat dianggap sebagai pembatasan untuk berkomunikasi, menyimpan dan mengolah informasi, "tandasnya.

Karena, lanjutnya, semua pihak diberikan keleluasaan dan kebebasan untuk berekspresi, berimprovisasi dan berkarya melalui film dan reklame film asalkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(novel)