Soal Pemindahan Ibukota Itu Cuma Karena Jokowi Ingin Dikenang Saja…

”Bayangkan tahun 2024 itu adalah tahun yang sibuk. Ada pemilu serentak mencakup presiden, DPR, DPD, bupati wali kota dan gubernur. Jadi tidak perlu juga Presiden Jokowi berambisi untuk dicatat sebagai orang yang memindahkan ibu kota secara de facto. Secara de jure mungkin sebentar lagi DPR akan menyetujui,” kata guru besar hukum tata negara itu.

Refly mengaku tak menemukan alasan yang cukup kuat dari pemerintah untuk memindahkan ibu kota di masa pandemi saat ini. Kemacetan Jakarta yang awalnya dikemukakan pemerintah tidak relevan di masa pandemi. Sebab dia melihat kemacetan di Jakarta berkurang signifikan selama pandemi sebagai dampak kebijkan PSBB yang membuat jumlah kendaraan di jalanan berkurang.

Sementara alasan bahwa pemindahan ibu kota untuk pemerataan ekonomi dan menyelamatkan pulau Jawa baginya kurang masuk akal dan mengada-ada. Menurut Refly, penduduk Jakarta itu relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduk Pulau Jawa secara keseluruhan.

”Kalau mau menyelamatkan Pulau Jawa, kenapa tidak melanjutkan program transmigrasi saja? Apa harus dengan cara memindahkan ibu kota negara?” tutur dia.

Pun demikian halnya alasan pemerataan ekonomi. Baginya, pemerataan ekonomi itu berkaitan dengan strategi pembangunan nasional, bukan persoalan ibu kota. Dengan kata lain, pemerataan ekonomi tetap bisa dilakukan tanpa harus memindahkan ibu kota.

“Bagi saya alasan itu mengada-ada. Jadi, saya tidak melihat ada alasan-alasan yang siginifikan kecuali bahwa Presiden Jokowi ingin dikenang daan dicatat sebagai presiden yang memindahkan ibu kota. Kalau memang itu alasannya, kita mau bilang apa?” ujar mantan Komisaris Utama PT Jasa Marga ini.[sindonews]