Sulitnya Jadi Menteri Kesehatan, Dahlan Iskan: Pilihannya Mundur atau Bertahan!

Saya teringat ketika diminta Bapak Presiden (SBY) untuk menjadi Dirut PLN. Juga dalam situasi krisis: krisis listrik.

Saya tahu diri. Saya tidak langsung bersedia –meski saya sadar bahwa perintah seorang presiden jangan diabaikan.

Niat saya tidak mengabaikan. Saya justru ingin menjunjung marwah seorang presiden.

Yakni, Presiden harus tahu bahwa saya bukan insinyur listrik –bahkan bukan sarjana. Saya hanya tamatan pondok pesantren: hanya tingkat madrasah aliyah pula.

Saya kemukakan itu di depan presiden. Agar dipikirkan ulang pencalonan saya.

Saya berpikir, bisa jadi Bapak Presiden akan disalahkan banyak orang: mengapa mengangkat lulusan madrasah menjadi Dirut PLN –yang lagi krisis pula.

Maka terucapkan kata-kata beliau: ”Saya sudah tahu itu. Saya melihat kemampuan leadership dan manajerial”.

Ya sudah. Yang penting, saya tidak boleh mengutamakan ambisi, tetapi mencelakakan atasan saya.

Saya tidak mau melempar bola api ke atas. ”Melempar bola api ke atas” adalah salah satu topik yang saya pilih di program mentoring leadership untuk beberapa direksi perusahaan saat ini.

Setelah jelas posisi saya itu, saya plong. Beban mental berkurang. Namun, saya sadar kelemahan saya: tidak tahu teknis listrik. Memang saya sudah pengalaman membangun dua PLTU, tapi kecil-kecil –untuk ukuran bisnis listrik.

Saya pun sadar: direksi PLN harus kompak –untuk bisa mengatasi krisis listrik saat itu. Saya harus memilih sendiri siapa saja yang akan duduk menjadi direktur PLN –mendampingi saya. Saya bertekad untuk tidak membawa satu orang pun dari luar ke PLN. Pasti masih banyak orang PLN yang hebat-hebat.

Dalam proses pengangkatan saya itu, ada dialog. Saya yang minta dialog: saya dipanggil Menteri BUMN Bapak Mustafa Abubakar dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh.

Saya ajukan persyaratan saya itu: saya harus diberi wewenang menentukan siapa saja yang jadi direksi PLN. Kalau tidak, saya tidak mau menjadi Dirut PLN. Untuk apa menjadi Dirut tapi tidak bisa mengatasi krisis listrik.

Beliau setuju. ”Namun, SK-nya harus tetap dari menteri BUMN,” ujar Pak Abubakar. Tentu saya tahu: harus begitu. Tidak masalah.

Said Didu, sekretaris menteri waktu itu, membuatkan SK-nya. Saya juga minta saran Said Didu: siapa anak muda di PLN yang pintar, bersih, dan jujur yang bisa saya ajak diskusi rahasia untuk memilih calon direksi itu. Saya tidak kenal satu pun orang di PLN.