Tekan Krisis Rupiah, Jokowi Ikuti Najib Razak: Naikkan Pajak dan Harga Barang

Golongan ketiga sebanyak 719 item barang, tarif PPh-nya naik dari 2,5% menjadi 7,5%. Berlaku untuk barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan Iainnya. Contohnya, bahan bangunan seperti keramik, peralatan elektronik audio-visual seperti kabel, box speaker, overcoat, polo shirt, swim wear.

Selain 3 golongan ini, ada 57 pos tarif yang tarif impor PPh-nya tetap yakni 2,5 persen. Di sektor ini, barang yang diimpor adalah bahan baku yang berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi. Revisi PMK ini, sudah ditandatangani dan segera diterbitkan. Tindakan/kebijakan pemerintah untuk merespons cepat dalam kondisi ekonomi global.

Hanya saja, pilihan kebijakan rezim Jokowi dengan menaikkan PPh ini, mirip jalan kejatuhan PM Najib Razak di Malaysia. sebelum tumbang, Najib menaikkan pajak kebutuhan primer sampai barang mewah. Tak lama kemudian Najib tersingkir karena keok dalam pemilu Malaysia, digantikan Mahathir Muhamad dan Wan Azizaah, istri Datuk Anwar Ibrahim. Apakah cerita serupa bakal terjadi di Indonesia?

Sejauh ini, keresahan publik atas kenaikan dolar Amerika Serikat (US$), sudah menjalar ke mana-mana. Sepekan lalu, heboh melejitnya US$ menuai polemik di berbagai media. Namun, kenaikan mata uang dolar AS, selalu dijawab tim ekonomi Jokowi dengan “Faktor Eksternal”. Kelihatannya telah terjadi retorika yang mengacaukan akal sehat rakyat Indonesia.

Anehnya, ketika mata uang Garuda mengalammi penguatan, tim ekonomi Jokowi saling klaim sebagai keberhasilan pemerintah. Atau dengan kata lain, retorika yang dibangun pejabat di pemerintahan Faktor Fundamental Internal. Ingin menunjukkan bahwa fundamental ekonomi masih kuat.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US$ oleh sejumlah pejabat di lingkaran Presiden Jokowi, acapkali dianggap masih dalam tatanan wajar dan normal-normal saja. Padahal, sejumlah ekonom senior seperti Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie menyebutnya sebagai ancaman serius bagi perekonomian Indonesia.

Di mana, pelemahan nilai tukar rupiah, bisa saja menjelma menjadi krisis ekonomi. Dengan catatan, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, serta hati hati.

Mengutip statemen Jokowi, pelemahan rupiah lebih disebabkan sentimen eksternal; seperti kenaikan suku bunga The Fed; perang dagang China dan AS; dan krisis yang melanda Turki serta Argentina.

Namun, mencermati pernyataan rada ngawur nan kompak dari para pejabat ekonomi di negeri ini, memang bikin jeri sekaligus geli. Jeri karena bisa direspons negatif oleh kalangan pelaku pasar. Geli lantaran menggambarkan ketidakmampuan negara mengatasi masalah tersebut.

Bisa jadi benar kalau kalangan pelaku pasar sudah jengah dan resah dengan kondisi ini. Kepercayaan terhadap kredibilitas pemerintahan Jokowi sudah mulai luntur. Makanya, kurs rupiah sempat melorot hingga Rp15.029/US$, meski kemudian berbalik naik.

Kembali ke soal kenaikan PPh 22 untuk 1.147 produk impor, Sri Mulyani dan Jokowi memang sosok yang berani dalam mengambil keputusan. Namun jangan senang dulu, karena kebijakan ini bisa justru merugikan Jokowi yang tahun depan menjadi capres pejawat. Karena menggerus elektabilitas dan popularitas Jokowi.