Tirani Media (Kasus MetroTv)

metroOleh:  *Edy Mulyadi*

Di suatu sore yang cerah, si A sedang berjalan-jalan santai. Tiba-tiba si B datang dan langsung meninju wajah si A. A pun jatuh terjungkal. Hidungnya berdarah. Kepalanya nyeri karena terantuk batu saat terhempas tadi. Dia pun meraung-raung.

Tak berapa lama, datanglah si C, kawan si A. Dengan sigap C menolong A sambil bertanya apa yang terjadi. Setelah itu, berdatangan pula si D, E, F, dan seterusnya. Mereka riuh menolong dan bertanya-tanya kepada si A. A pun bercerita, bahwa si B telah memukul dan menzalimi A.

Hasilnya, orang-orang itu mengecam si B yang memukul A. Mereka ramai-ramai menghujat B. Beberapa di  antaranya malah bermaksud membawa masalah ini ke ranah hukum. Maka, jadilah si B sebagai tersangka yang dimusuhi banyak pihak.

Orang-orang itu sama sekali tidak pernah bertanya, *kenapa* si B memukul A. Mereka hanya sibuk pada *apa* (peristiwanya), yaitu B meninju muka A. Padahal, sejatinya, jauh sebelum pemukulan terjadi, si A sudah teramat sering menghina si B. Bukan itu saja, A berkali-kali bertandang ke rumah B. Lalu di rumah itu  A menghina dan mencaci maki keluarga B. Istri si B dilecehkan. Bahkan ibu dan bapak si B juga dinistakan.  Lebih serunya lagi, perilaku seperti itu telah berlangsung sangat lama. Bertahun-tahun, berbelas tahun, bahkan berpuluh tahun!

Kenapa si C, D, E, F, dan kawan-kawannya  tadi *tidak pernah bertanya penyebab* si B dipukul si A? Karena mereka sesungguhnya *sudah tahu apa penyebabnya*. Bukan itu saja, beberapa di antara mereka bahkan *menjadi bagian dari perlakuan zalim si A terhadap B dan keluarganya.*

Begitulah yang terjadi di negeri ini. Si A adalah media (mainstream) yang dimiliki non muslim (al Quran menyebutnya; kafir), munafik, dan atau sekuler. Sedangkan si B adalah ummat Islam. Si C, D, E, F dan kawan-kawannya sibuk menyalahkan B yang memukul si A. Ada LSM, tokoh ini-itu, ketua Parpol, orang yang dianggap ulama, lembaga resmi dan setengah resmi, hingga publik awam. Mereka dengan geram dan gegap-gempita menyemburkan sumpah-serapahnya.

Tudingan dan hujatan tersebut kini ditujukan kepada ummat Islam, terutama pasca Aksi Bela Islam (ABI) jilid 3, 2 Desember silam. Di sela-sela aksi superdamai menuntut dipenjarakannya Ahok si penista agama, beberapa jurnalis Metro TV mendapat perlakuan tidak simpatik dari massa aksi. Mereka mendapat gangguan saat hendak melaporkan siaran langsung. Massa aksi berteriak-teriak di sekitar reporter. Bahkan ada reporter yang didorong ke depan.

“Tipu… tipu… tipu… Metro tipu, metro tipu, metro tipu, metro tipuuuuu…,” demikian antara lain yang diteriakkan massa di sekitar si jurnalis.

“Bukan 50.000 tapi jutaan ummat ada di sini… Bukan 50.000…..” terdengar suara perempuan berteriak.

*Ummat kembali di-bully*

Adegan ini kemudian menjadi viral di media sosial. Lalu, media yang bersangkutan dan kawan-kawannya menjadikannya sebagai alat untuk mem-bully massa aksi. Sejumlah pihak angkat bicara. Ada pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan juga dari Dewan Pers. Semuanya senada, membela Metro TV dan mengecam massa aksi.

Dan, tentu saja, Metro TV selaku “korban” (*korban dengan tanda petik*) adalah pihak paling sibuk. Berkali-kali televisi yang (awalnya) milik Surya Paloh ini menurunkan beritanya. Ia juga menyajikan dialog atau talkshow yang menghadirkan mereka yang berpihak, antara lain ya ketua IJTI itu.

Seabrek UU dan peraturan disorongkan untuk memperkuat argumen mereka. Senjata yang digunakan adalah UU No. 40/1999 tentang Pers. Antara lain, wartawan adalah profesi yang dilindungi UU. Dan, tentu saja, yang menjadi andalannya adalah pasal 18 ayat (1), yang berbunyi:

Setiap  orang yang secara melawan hukum dengan  sengaja melakukan  tindakan  yang   berakibat  menghambat  atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat  (2) dan ayat  (3) dipidana dengan penjara paling lama  2  (dua) tahun  atau  denda  paling  banyak  Rp.  500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).

Bukan main…

Begitulah media (mainstream). Saat tugasnya merasa dihalang-halangi, mereka berteriak dan dengan sigap menyodorkan sejumlah pasal. Namun ketika menzalimi Islam dan ummatnya dengan pemberitaan yang tidak berimbang dan terus-menerus merugikan, mereka dan para konconya asyik-asyik saja mengangkangi peraturan. *Media telah menjadi tirani. Tirani minoritas terhadap pemeluk agama mayoritas di negeri ini.*

Padahal, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan terikat dan harus taat dengan Kode Etik Jurnalistik. Kode etik yang terdiri atas 11 pasal itu secara benderang mengatur apa saja yang harus, boleh, dan tidak boleh wartawan lakukan dalam bertugas. Pagar pertama langsung terpampang pada pasal 1, yaitu; Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Apa yang dilakuan Metro TV dan sejumlah media mainstream lainnya sama sekali tidak independen. Beritanya tidak akurat, tidak berimbang, dan jelas beritikad buruk. Pada kasus reporter Metro TV yang diteriaki massa Aksi Bela Islam 3, misalnya. Bagaimana reporter yang pastinya pintar, berpendidikan minimal sarjana strata satu, kok bisa melaporkan jumlah massa aksi sebanyak 50.000 orang.

Saya tidak perlu menuturkan bagaimana jamaah shalat Jumat membentang sejak Monas melewat Patung Tani dan ekornya hingga fly over Senen-Cempaka Putih di satu sisi. Di sisi lain, jamaah meluber hingga bunderan HI dan terus menyentuh Patung Jenderal Sudirman, di Jl. Sudirman. Jamaah juga meluber hingga Jl. Budi Kemuliaan, terus melewati Jl. Abdul Muis tembus Tanah Abang dan mencapai Harmoni pada bentangan sebaliknya.

Tolong jelaskan kepada saya, bagaimana mungkin si reporter bisa *melaporkan jumlah aksi* hanya, sekali lagi: *hanya 50.000 orang*. Bukankah sangat tidak akurat? Lantas, tidakkah ini didasari oleh itikad buruk? Mustahil stasiun televisi sekelas Metro TV mempekerjakan reporter yang bodoh, yang matanya rabun dan tidak pandai menghitung!

Metro TV juga dengan jelas-jelas melabrak Pasal 4, yaitu Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Laporan jumlah massa aksi yang hanya 50.000 jelas sebuah *berita kebohongan besar yang amat nyata!*

Nah, materi dan tone berita negatif dan nyinyir semacam inilah yang banyak dimainkan Metro TV dan sejumlah media mainstream lainnya. Masih banyak contoh lain yang bisa dituangkan di sini. Tapi, tentu saja, hal itu akan membuat tulisan ini kian panjang saja.

*Sudah keterlaluan*

Pertanyaannya, salahkah yang dilakukan massa aksi terhadap sejumlah media (mainstream) tersebut? Jawabnya sudah pasti; salah. Tapi, mbok ya-o, mereka yang dengki dan benci terhadap Islam itu jujur melihat, mengapa ummat bersikap demikian?

Saya sengaja membuka tulisan ini dengan tamsil kisah si A yang ditinju mukanya oleh B. Apa yang dilakukan si B adalah hanya puncak kekesalannya atas perilaku A yang sudah teramat lama menghina, melecehkan, merugikan, dan menistakan keluarganya.

Masih soal pemberitaan yang negatif dan merugikan ummat Islam, di bawah ini beberapa contoh bagaimana mereka menulis judul berita seputar ABI 3 yang terbit sehari sesudah aksi (Sabtu, 3/12):

*Makar Terbukti Ada* (Media Indonesia); *Demo 212 Tercoreng Rencana Makar* (Tempo); *Rizieq Teriakkan Revolusi* (Waspada); *Gagal Duduki Parlemen* (Sumatera Ekspres); *Skenario Kuasai MPR* (Sriwijaya Post); *Kok Nggak Ngefek Ke Penahanan Ahok* (Rakyat Merdeka). Judul-judul media tersebut secara tersurat dan tersirat menunjukkan *ketidaksukaan bahkan kebencian* sejumlah media tersebut kepada Islam dan ummatnya.

Bandingkan dengan berikut ini: *Damai Tertib Aman;  Supermassa Superdamai* (Koran Sindo);  *Aksi Paling Super* (Harian Jogya);  *Aksi 212 Luar Biasa* (Kedaulatan Rakyat). Beberapa judul tersebut menggambarkan situasi dan fakta di lapangan pada saat Aksi 212 berlangsung.

Ya, Metro TV dan sejumlah media (mainstream) lain sudah sangat lama merugikan Islam dan ummatnya dalam pemberitaan mereka. Untuk fakta soal ini, Mohamad Fadhilah Zein merangkum dengan apik dalam bukunya yang berjudul Kezaliman Media Massa Terhadap Umat Islam.

Dengan framming dan agenda setting (kapan-kapan kita bahas soal ini, ya. In sya Allah) yang merugikan tersebut, ummat Islam berhak mendesak pemerintah untuk mencabut izin penggunaan frekuensi yang dipakai Metro TV dan media sejenis. Pada hakekatnya, frekuensi adalah milik publik yang pengelolaannya dipercayakan kepada negara. Jika pihak penerima izin menyalahgunakan kepercayaan tersebut, maka sudah sewajar dan semestinya bila pemerintah mencabut izinnya.

Tapi kenapa mereka melakukan hal itu? Jawaban atas pertanyaan ini ada di QS Ali Imron : 118,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan teman kepercayaan (sahabat karib) mu dari orang-orang di luar kalanganmu. Mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan terhadapmu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. *Telah nyata kebencian di mulut-mulut mereka. dan apa yang mereka sembunyikan dalam hatinya, adalah lebih besar lagi.* Sungguh telah kami terangkan kepada kalian, jika kalian mau menggunakan akal.”

Apa tujuan mereka? Silakan simak QS Ash Shaf [61] : 8, Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka. Tapi Allah justru menyempurnakan cahaya (agama)Nya, walaupun orang-orang musyrik membencinya.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip cuitan Rocky Gerung yang 1-2 hari ini menjadi viral di media sosial. Lindungi jurnalis yang melakukan tugas publik. Lindungi publik dari jurnalis yang melakukan tugas partai. (*)
Jakarta, 6 Desember 2016

*Edy Mulyadi*, Wapemred Majalah Energindo, Media Trainer