Tragis, 500.000 Ton Gula Petani Lokal Belum Terserap

Eramuslim.com – Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mencatat ada sekitar 500 ribu ton gula tani belum laku karena pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) gula tani baru efektif berlaku 16 September 2017.

“Hingga kini, pedagang belum berani menyerap gula petani, sedangkan Perum Bulog hingga kini juga belum melakukan penyerapan,” kata Sekretaris Jenderal DPN APTRI M Nur Khabsyin di Kudus, Senin (11/9/2017).

Ia mengatakan, hingga kini petani dalam posisi kesulitan untuk memperoleh modal pembiayaan tanaman tebu yang telah ditebang. Hambatan lain penyerapan gula tani, yakni munculnya aturan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian lewat surat nomor S-202/M.EKON/08/2017 bahwa yang membeli gula petani dan gula pabrik gula milik BUMN hanya Bulog dangan harga Rp 9.700 per kilogram.

Surat Menko Perekonomian tersebut ditindaklanjuti dengan surat Menteri Perdagangan nomor: 885/M-DAG/SD/8/2017 yang intinya hanya Perum Bulog yang bisa memasarkan gula curah di pasaran.

Selain itu, lanjut dia, adanya aturan soal SNI untuk gula kristal putih yang dibatasi ICUMSA( International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis) maksimal 300. Padahal, lanjut dia, rata-rata pabrik gula milik BUMN memproduksi gula dengan ICUMSA diatas 300.

Sementara gula hasil produksi pabrik-pabrik gula milik BUMN, kata dia, mayoritas ICUMSA di atas 300, sehingga jika diberlakukan maka gula petani tidak laku karena gula petani juga diproduksi oleh pabrik gula tersebut. Adanya aturan SNI tersebut, kata dia, pedagang juga takut untuk membeli gula petani, sehingga yang bisa masuk pasar hanya gula yang berwarna putih atau gula impor.

“Kami khawatir, aturan tersebut hanya untuk memudahkan gula impor bisa masuk pasar,” ujarnya.

APTRI mengusulkan batasan ICUMSA untuk gula kristal putih diperlonggar menjadi maksimal 450 sambil memberi toleransi waktu bagi pabrik gula untuk berbenah. Ia menyayangkan, pemerintah justru membuat aturan yang rumit dan merugikan petani maupun pabrik gula serta masyarakat.

“Kami mohon agar aturan SNI diperlonggar, dengan mengutamakan gula yang sehat dan bermutu bukan hanya dilihat dari warnanya saja yang putih,” ujarnya.

Menurut dia, gula yang warnanya agak kuning bukannya tidak sehat, begitu sebaliknya gula yang warnanya putih belum tentu lebih bermutu dan sehat. Bahkan, lanjut dia, banyak masyarakat yang lebih memilih gula dengan warna agak kuning karena rasanya lebih manis dibanding gula yang warnanya putih seperti gula impor/rafinasi.

Ia menegaskan, APTRI tetap menolak harga pembelian gula tani dari Perum Bulog seharga Rp 9.700 per kg karena masih di bawah biaya produksi gula petani sebesar Rp 10.600 per kg. “Kami minta supaya gula petani dibeli dengan harga Rp 11 ribu per kg,” ujarnya.

Terkait dugaan monopoli pembelian gula petani dan penjualan gula oleh Perum Bulog, APTRU mengancam akan melaporkannya ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).(kl/ts)

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-pre-order-eramuslim-digest-edisi-12-bahaya-imperialisme-kuning.htm