Tunjuk Luhut dan Tenggat Waktu Yang DIkasih Jokowi Gak Masuk Akal

Berbeda dengan membangun jalan tol yang bisa dipatok tenggatnya, epidemiologi dilandasi pada pemantauan jangka panjang alias surveilans. Data-data terkait pandemi harus dikumpulkan, diolah, dianalisis, kemudian diinterpretasi. Proses pengumpulan data itu dilakukan secara sistematik dan terus menerus supaya didapat informasi yang tepat untuk merumuskan kebijakan pencegahan yang juga efektif.

Salah satu contohnya adalah kebijakan pelarangan masker scuba. Ini didasari pada pemantauan kasus penularan terhadap mereka yang bermasker tetapi tidak sesuai standar. Contoh lain ialah terjadinya banyak kasus infeksi di ruang tertutup sehingga disimpulkan bahwa COVID-19 bersifat airborne.

“Kebijakan yang diperbarui tersebut dipantau penerapannya dan dilihat peningkatan kasusnya, apa betul efektif menekan kasus,” kata dia. Sayangnya, sudah lebih dari enam bulan pandemi melanda Indonesia, belum terlihat hasil penyelidikan epidemiologi terhadap pasien positif COVID-19.

Di sisi lain, Bigwanto juga mengkritisi penunjukan Luhut untuk menangani COVID-19 di daerah-daerah zona merah tersebut. Tupoksi Luhut di kabinet sama sekali tidak berhubungan dengan pandemi.

Pemerintah toh sudah memiliki Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di tingkat pusat hingga daerah. Semestinya satgas yang lebih diberdayakan dan koordinasi antara satgas dan kementerian ditingkatkan.

“Terlihat memang pemerintah ini berat ke ekonomi, jadi yang ditunjuk mengurus pandemi justru Menko Maritim dan investasi,” kata Bigwanto.

Luhut sendiri sadar bahwa bidang ilmu dia memang bukan epidemiolog. Namun, ia mengatakan didukung orang-orang yang ahli, termasuk dari Kementerian Kesehatan. Dalam konferensi pers virtual di Youtube Kemenko Maritim dan Investasi, Jumat 18 September, ia mengatakan hanya berperan sebagai manajer.

“Dan saya kira, saya boleh mengklaim sebagai manajer yang baik,” kata Luhut. (*)