Undang-Undang Intelijen Mengembalikan Indonesia ke Zaman Kegelapan?

Rakyat akan menghadapi zaman kegelapan, seperti di era Soeharto, di mana lembaga intelijen mempunyai kewenangan yang sangat luas. Isu adanya “terorisme” yang mendera umat Islam, sejak peristiwa 11 September 2001, yang menghancurkan Gedung WTC, di mana pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpu Pemberantasan Terorisme dan kemudian menjadi Undang-undang.

Sekarang dimunculkan RUU Tentang Intelijen Negara, sebagai langkah antisipasi pemerintah menghadapi masalah keamanan negara, termasuk terorisme. Tentu yang akan menjadi objek adalah umat Islam. Ini artinya umat Islam akan menghadapi kembali ke zaman gelap, dan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan zaman Soeharto.

RUU yang baru digulirkan pemerintah, dan sekarang ini sedang dalam pembahasan di DPR, terdapat hal-hal yang sangat mendasarkan menyangkut hak-hak dasar rakyat, yang sangat mungkin akan terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Karena, di dalam RUU itu, pemerintah mengajukan usulan yang memberikan aparat intelijen mempunyai kewenangan melakukan penyadapan dan penangkapan selama 7 X 24 jam.

Sementara itu, kalangan DPR menilai aparat intelijen seharusnya tak hanya diawasi secara internal, tetapi juga harus diawasi secara eksternal. Rancangan RUU Intelijen harus mengakomodasi pengawasan eksternal.

“Harus ada tim pengawas eksternal untuk mengawasi kegiatan intelijen maupun aktivitas penyadapan yang dilakukan aparat intelijen. Kalau terus dibiarkan gelap, kewenangan intelijen ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan negara”, ujar anggota Komisi I dari FPDIP, TB. Hasanuddin, Rabu (23/3).

Terkait dengan kewenangan penyadapan oleh intelijen, menurut Hasanuddin, hal itu tidak menjadid persoalan sepanjang ada aturan yang tegas mengenai batasan atau kriteria penyadapan untuk kepentingan negara. Selain itu, hasil penyadapan juga harus bisa dibuka, sepanjang substansi penyadapan tidak menyalahi ketentuan tentang undang-undang kerahasia negara atau ketentuan undang-undang yang berlaku.

Ketentuan RUU Intelijen yang juga perlu dianalisis secara kritis, menurut Hasanudin, adalah kewenangan aparat intelijen untuk melakukan penangkapan dan menahan seseorang dalam 7 X 24 jam. Ketentuan itu diniai tidak relevan dengan tugas intelijen. Dalam draft sebelumnya ketentuan itu telah dicoret oleh Komisi I DPR. “Terus terang kami terkejut karena pemerintah mengusulkan lagi (kewenangan) penangkapan dan penahanan dalam 7X24 jam”, ujar TB Hasanuddin.

Menjadi Ancaman Kebebasan

Di bagian lain, elemen masyarakat sipil berharap RUU Intelijen mengakomodasi penegakkan hak-hak asasi manusia. Wewenang untuk untuk penyadapan dan dan penangkapan dikawatirkan bisa mengancam kebebasan sipil dan berpontensi melanggar HAM.

Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mengatakan, pemerintah dan DPR harus memikirkan prosedur dan mekanisme baku tentang prasyarat penyadapan. “Pemerintan harus menyediakan ruang keluhan bagi warga negara yagn merasa hak privasinya dilanggar”, ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.

Sementara itu, Al Araf dari Imparsial, menyatakan, permintaan Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki kewenangan untuk menangkap. Menurut dia, kewenangan ataupun menahan hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pemberian kewenangan menangkap kepada aparat intelijen merusak mekanisme sistem pengadilan kriminal dan menimbulkan tumpang tindih.

Pemberian kewenangan panangkapan dan penahanan kepada intlelijen adalah hal yang keliru, dan mengancam hak asasi manusia, merusak prinsip negara hukum, dan demokrasi itu sendiri. Pemberian kewenangan menangkap tersebut sama juga dengan pemberian kewenangan penculikan seara legal melalui undang-undang intelijen mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia, ujar Al Araf. (hn/kps)