Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam (12)

maxresdefaultEramuslim.com – Tidak sampai tiga pekan setelah mendarat di pantai Aceh pada tanggal 8 April 1873 itu, sisa-sisa serdadu Belanda sudah kembali lagi naik kapal setelah menghadapi perlawanan paling sengit yang pernah dialami militer Belanda di Timur. Jenderal Kohler, panglima Belanda, terbunuh pada 14 April.

Kohler mati dengan dada tertembus peluru sniper Mujahidin Aceh saat memimpin penyerangan ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kohler langsung ambruk bersimbah darah di halaman depan masjid bersejarah itu.

Dalam serangan dua hari yang sia-sia itu di dalam kota Banda Aceh, Belanda menderita kerugian yang luar biasa besar. Setelah Indonesia merdeka, tempat ambruknya Jenderal Kohler di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman itu dibuat sebuah monumen. Hari ini monumen itu masih tegak berdiri, selamat dari sapuan tsunami. Salah satu diorama di Museum TNI Satria Mandala Jakarta juga telah melukiskan peristiwa bersejarah ini.

Patah semangat dan dilanda frustasi, merasa terkepung di negeri yang sama sekali tidak dikenalnya, Nieuwenhuyzen dan para petinggi militer Belanda akhirnya dengan panik memutuskan untuk mundur sampai armada yang lebih besar dapat diperlengkapi setelah musim angin barat-daya.

Orang-orang Aceh bertempur dengan gagah berani dan menggunakan senjata mereka dengan cekatan, tetapi tidak ada orang yang lebih terheran-heran daripada mereka sendiri ketika menyaksikan Belanda mengundurkan diri… Rakyat Indonesia yang lain hanya tahu bahwa untuk pertama kalinya dalam pengalaman mereka, pasukan Belanda yang cukup besar dipaksa mundur oleh orang-orang Indonesia.

Enam bulan selanjutnya penuh ketegangan bagi pemerintah Hindia Belanda dan menggelorakan semangat bagi beberapa orang Indonesia yang mulai yakin bahwa “tuan-tuan” mereka orang Eropa bukanlah orang yang tidak terkalahkan. Dan peristiwa-peristiwa dramatis ini membawa Aceh ke pentas pemberitaan di Eropa.[1]

Setelah berhasil memukul mundur armada salib Belanda pada ekspedisi pertama di bulan April 1873, rakyat Aceh bersiap-siap menyambut datangnya pasukan kafir itu yang hampir dipastikan akan kembali menyerang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan dalam jumlah serta kekuatan yang lebih dahsyat.

Dari berbagai daerah pedalaman, dari berbagai dayah dan meunasah, ribuan rakyat Aceh lengkap dengan aneka senjata mengalir menuju ibukota, Banda Aceh, yang diperkirakan akan kembali menjadi target serangan Belanda. Kebanyakan datang ke ibukota bersama para ulama yang sekaligus menjadi komandannya. Di perkampungan pelabuhan-pelabuhan kecil di pesisir Barat di utara Meulaboh, semangat jihad membuat setengah penduduknya berangkat ke Banda Aceh. Namun jumlah yang lebih besar berasal dari Aceh Besar, yang dipimpin oleh Panglima Polem di Mukim XXII. Reid mencatat, jumlah yang dari Aceh Besar itu berkisar antara 10.000 sampai 100.000 prajurit.[2]

1873AchineseWarriorContextPhotoTropen01Kota Banda Aceh dipenuhi oleh ratusan ribu laskar Islam Aceh. Panji-panji syahadat berkibar di mana-mana ditiup angin laut berdampingan dengan bendera kerajaan. Tenda-tenda besar didirikan di seluruh kota hingga ke pantai. Pucuk-pucuk meriam kembali di arahkan ke laut. Secara bergiliran, di sekitar perairan Aceh, kapal-kapal kecil Aceh nan lincah terus berpatroli. Dari atas gunung dan bukit yang tinggi, pasukan pengintai tampak terus berjaga mengawasi garis cakrawala di laut, melihat kalau-kalau ada kapal-kapal perang Belanda kembali datang.

Setiap adzan bergema dari kubah Masjid Raya Baiturahman, secara bergantian para Mujahidin Aceh itu melakukan sholat berjamaah. Setiap usai sholat berjamaah dan juga saat sholat Jum’at, para khotib yang berdiri di mimbar dengan penuh semangat terus menggelorakan jihad fi sabilillah. Berbagai sirah Rasulullah SAW pada saat perang pun dipaparkan. Semua itu membuat semangat jihad rakyat Aceh kian membara.

Sebelum Belanda menyerang Aceh kembali, secara diam-diam, Belanda menyusupkan belasan mata-matanya yang terdiri dari orang Melayu dan Arab dari Batavia ke Aceh. Dalam masa-masa ini, Belanda menelan pil pahit dan kehilangan muka akibat dipukul mundur oleh Laskar Aceh.

Anthony Reid dalam disertasi doktoralnya malah menyebutkan bahwa dalam periode ini beberapa orang Muslim Eropa bahkan telah berada di Aceh untuk berjuang bersama Muslim Aceh menghadapi kafir Belanda. Di antara mereka adalah: Luhrig, seorang Muslim Jerman, yang akhirnya meninggal karena sebab-sebab yang tidak diketahui di pantai Timur. Lalu F. J. Sheppard, seorang Muslim Amerika yang telah pergi haji, dan Thomas Carr, juga Muslim Amerika. [3]

Di samping itu, ada pula sejumlah perwira Turki yang membantu Aceh. Dari Singapura, dikabarkan pula ada dua orang perwira artileri Turki yang menyeberang ke Aceh.[4] Selain itu, setelah Belanda menyerang Aceh untuk yang kedua kali, November 1873, beberapa serdadu Belanda yang berasal dari para kriminal dan sampah masyarakat di Eropa, pada tahun 1879 melakukan desersi dan menyeberang membantu perjuangan rakyat Aceh.[5]

Dari komunitas Muslim yang ada di Singapura, yang terdiri dari para pengusaha Arab yang kaya dan memiliki jaringan niaga dengan Muslim Asia, setelah mendengar Belanda memaklumkan perang terhadap Aceh, timbul gerakan menghimpun dana perang Aceh. Para pedagang Arab ini mengontak para relasinya di seluruh Asia dan juga Nusantara untuk menggalang dana bantuan bagi Aceh.

Laporan mata-mata Belanda menyebutkan, “Dana dalam jumlah yang besar sekali “ untuk membantu Aceh telah terkumpul dalam waktu singkat.[6] Dari Jawa dan Singapura saja telah terkumpul dana hibah sebesar satu juta Dollar Straits. Pada bulan November 1874 saja terkumpul 100.000 Dollar Straits.[7]

Di Singapura, pusat dari aktivitas solidaritas Aceh ada di sebuah masjid yang dirawat oleh keluarga al-Sagoff di Kampung Glam. “Semua orang Muslim yang paling fanatik berkumpul di masjid ini mendengarkan laporan pekanan mengenai Aceh dari agen-agen Sayyid Muhammad al-Sagoff, dan memanjatkan doa bersama semoga pasukan bersenjata Aceh berhasil,” demikian laporan mata-mata Belanda kepada Read yang diteruskan kepada Van Lansberge tertanggal 2 April 1876. Doa untuk kemenangan rakyat Aceh ternyata juga dipanjatkan di hampir semua masjid di Nusantara, Johor, dan Penang.

Keluarga al-Sagoff adalah salah satu keluarga Muslim terkaya dan paling berpengaruh di Singapura. Sayyid Ahmad bin Abdurrahman As-Sagoff, sang kepala keluarga, adalah pedagang besar pemilik kapal dan dermawan Muslim. Ia pemilik dua kapal uap yang mengarungi jalur Jeddah-Singapura dan menyewa kapal-kapal lain sehingga menguasai pengangkutan jemaah haji di seluruh Asia Tenggara. Puteranya, Sayyid Muhammad As-Sagoff, bahkan lebih aktif lagi. Belanda yakin kedua orang ini adalah dalang dari kegiatan solidaritas Aceh di Singapura.[8]

Masih di Singapura, Haji Ismail bin Haji Abubakar, seorang pengusaha penginapan bagi orang-orang Jawa yang hendak naik haji ke Mekkah, menulis surat kepada ayahnya seorang penghulu di Banyumas dan juga kepada Bupati di Serang, berisi pesan bahwa Khalifah di Turki akan segera membantu Aceh dan menghimbau agar seluruh Muslim di Jawa juga aktif membantu Muslim Aceh. Haji Ismail juga menyerukan agar jemaah haji di Jawa bisa dikirimkan kepadanya agar nantinya bisa dikirimkan lagi ke Aceh bila tiba waktunya.

Sultan Riau, Sultan Yogya, dan pemimpin-pemimpin Islam di banyak daerah di Nusantara juga menerima surat serupa dari berbagai tokoh Islam Asia. Bahkan surat untuk bersedia mengirim pasukan ke Aceh. Mereka semua bersepakat harus membantu Aceh menghadapi agresi Belanda. Ini merupakan salah satu gambaran betapa ukhuwah Islamiyah di zaman itu masih sungguh-sungguh terasa. Sayangnya, beberapa surat tersebut jatuh ke tangan Belanda.[9]

Keberhasilan Mujahidin Aceh menghalau serbuan Belanda dalam ekspedisi pertamanya itu betapa pun juga telah menjadi satu ide bagi banyak warga pribumi di Nusantara untuk memberontak terhadap penjajah Belanda.

Enam bulan setelah kegagalan yang memalukan, pada November 1873, dari Batavia, Belanda kembali mengirim ekspedisi kedua untuk menyerang Aceh. Kali ini dengan kekuatan dan jumlah yang jauh lebih besar. Anthony Reid mencatat: Belanda sadar betul bahwa ekspedisi kali ini akan mendapat perlawanan lebih sengit dibandingkan dengan ekspedisi pertama. Perasaan keagamaan telah bangkit di Aceh karena serangan yang dilancarkan Belanda tanpa sebab-musabab yang jelas dan perlawanan yang berhasil memukul mundur Belanda. Banyak ulama berkhotbah bahwa perang itu jihad, kewajiban, dan hak istimewa setiap Muslim. Sebagian besar pemimpin adat kehilangan pengaruh mereka, kalah oleh pemimpin-pemimpin yang dikenal memiliki kemampuan memimpin perang atau membangkitkan semangat keagamaan.[10] (Bersambung/Rizki Ridyasmara)

———————————-

[1] Anthony Reid, ibid, hal. 104-105.

[2] Ibid, hal. 118.

[3] Ibid, hal.148.

[4] Hasil laporan mata-mata Read, yang ditulis dalam surat dari Read kepada Van Lansberge tertanggal 16 Maret dan 17 April 1876, dikutip Anthony Reid, hal.149.

[5] Ibid.

[6] Ibid, hal.158.

[7] Surat Maier kepada Leuden, 22 November dan 14 Desember 1874.

[8] Anthony Reid, ibid, hal. 159.

[9] Ibid, hal.161.

[10] Ibid, hal. 117.

========================

Artikel ini bekerjasama dengan Eramuslim Digest:Resensi Buku : Jejak Berdarah Yahudi Sepanjang Sejarah , Eramuslim Digest