Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat
[Catatan Kritis Atas Kebijakan R.S. Medistra yang Rasis kepada Muslimah Berjilbab]
Pagi ini (Senin, 2/10) penulis sangat terkejut, membuka WA dari Pak Mudrick Setiawan Malkan Sangidoe, aktivis senior Megabintang, Solo. Beliau memberikan konfirmasi, bahwa Spesialis bedah onkologi Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K), adalah putrinya. Beliau juga mengirimkan link berita ihwal pengunduran diri putri beliau yang bertugas di R.S. Medistra, karena larangan berjilbab bagi Muslimah.
Penulis pikir, kasus Rasisme pada Muslimah di usia kemerdekaan R.I. yang ke-79, terakhir hanya terjadi dalam tragedi Muslimah Paskibraka. Yudian Wahyudi, menjadi pemicunya karena mengeluarkan Keputusan yang rasis terhadap Muslimah berjilbab, anggota Paskibraka.
Ternyata, kelakuan BPIP ini justru dicontek oleh Manajemen R.S. Medistra, Jakarta Selatan.
Kasus Rasisme terhadap jilbab untuk perawat dan dokter umum itu terungkap setelah surat protes dilayangkan Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K) yang beredar di jagat maya. Surat yang tertulis 29 Agustus 2024 dan ditujukan kepada direksi RS Medistra.
Dalam surat disebutkan tentang adanya pertanyaan di sesi wawancara kepada calon dokter umum, menanyakan terkait performance dan RS Medistra merupakan RS internasional, sehingga timbul pertanyaan Apakah bersedia membuka jilbab jika diterima.
Pertanyaan ini jelas rasis, bahkan merendahkan jilbab yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Coba kita simak, apa korelasi jilbab dengan performance rumah sakit berstandar internasional? Apakah berjilbab, akan menurunkan kualitas layanan profesional seorang dokter? Sebaliknya, apakah jika tidak berjilbab, otomatis kualitas pelayanan dan profesionalisme seorang dokter jadi hebat? Ini jelas pertanyaan yang sangat merendahkan!
Akhirnya, penulis mendapatkan informasi bahwa Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K) mengundurkan diri. Dirinya meyakini, bahwa rezeki Allah SWT yang atur. Tidak harus melalui RS. Medistra. (Sabtu, 31/8/2024).
Sebagai Advokat, Qadarullah penulis bekerja dan berinteraksi di lingkungan rumah sakit sudah lama sejak tahun 2011. Penulis banyak bertemu dan berinteraksi dengan dokter, perawat, yang beraneka ragam dan berbagai latar belakang. Tentu saja, penulis juga banyak bertemu dan berinteraksi dengan dokter dan perawat Muslimah yang berjilbab. Bahkan, mitra (klien) penulis yang menduduki posisi sebagai Direktur di sebuah Rumah Sakit swasta juga seorang Muslimah yang berjilbab.
Dalam perjalanan interaksi tersebut, tidak pernah ada kasus dalam penanganan pasien di R.S., yang berdampak fatal atau minimal kurang maksimal, karena faktor jilbab. Karena memang, tidak ada korelasi antara jilbab dengan performance atau kinerja dokter. Profesionalisme dokter ditunjang dari ilmu pengetahuan dan jam terbang, sarana penunjang, serta penguasaan IPTEK di dunia kedokteran. Jadi, tidak ada faktor ‘jilbab’ menjadi penyebab turunnya kinerja atau performance.
Karena itu, sudah semestinya tindakan rasis terhadap jilbab dan umumnya kepada seluruh ajaran Islam, diakhiri. karena ajaran Islam, justru mendorong setiap pekerja atau peofesi memiliki kinerja yang profesional dan amanah.
Semoga tulisan singkat ini, bisa jadi pertimbangan R.S. Medistra, untuk mengevaluasi kebijakannya. Bangsa Indonesia, sudah lama meninggalkan rasisme jilbab yang itu dulu terjadi di era 80 dan awal 90 an.
Sudah saatnya, membangun persepsi Islam adalah aset dan investasi bagi masa depan bangsa. Bukan malah sebaliknya, mengedarkan islamofobia dan sikap rasisme terhadap ajaran Islam. [].
Untuk penulis, mnrt sy kata “rasis” tdk tepat dipakai dalam masalah jilbab/hijab. Lbh tepat kalau memakai istilah “diskriminatif”. Perbedaan makna kedua istilah tsb silahkan lihat di kamus.