Arah ‘Cerai Gantung’ SBY untuk PKS

Kegelisahan para elit Partai Keadilan Sejahtera atau PKS terhadap sikap Presiden SBY yang belum ‘terbuka’ kepada PKS, mulai memunculkan penafsiran liar dari pihak PKS. Anis Matta yang juga Sekjen PKS misalnya, mencurigai manuver-manuver yang menyerang PKS akhir-akhir ini merupakan upaya pembusukkan untuk memuluskan reshuffle menteri PKS di kabinet.

Mulai dari isu daging impor, laporan Yusuf Supendi soal elit PKS, dan lain-lain, menurut Anis, merupakan serangan beruntun. Dan Anis yakin, akan ada serangan lagi yang ia sebut di antaranya serangan terhadap anggota legislatif PKS yang ada di Badan Anggaran DPR.

Reaksi Anis yang menurut pengamat politik berlebihan ini sontak seperti memberikan sinyalemen. Yaitu, PKS, setidaknya Anis Matta sendiri, mencurigai kalau sejumlah isu politik yang menyerang PKS akhir-akhir ini dilakukan untuk pembenaran terjadinya reshufle untuk PKS. Dengan kata lain, pihak Anis seperti menganggap kalau serangan terhadap PKS ini dilakukan oleh pihak SBY.

Kecurigaan Anis ini merupakan buntut dari berlarut-larutnya sikap SBY yang khusus buat PKS. Karena dari sekian anggota partai koalisi, termasuk Golkar, hanya PKS yang hingga kini belum mendapatkan draf perjanjian yang baru. Bahkan untuk Golkar, SBY langsung melakukan pertemuan khusus dengan Abu Rizal Bakri beberapa hari setelah isu reshufle beredar.

Kegelisahan ini pula yang sulit ditampik sebagai hal yang melatarbelakangi dilangsungkannya pertemuan majelis tinggi partai di PKS yang dilakukan di rumah Hilmi Aminuddin, Lembang pada Kamis lalu. Usai acara itu, secara gamblang Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq menyatakan bahwa Hilmi masih menunggu undangan SBY untuk membahas evaluasi kontrak koalisi.

Arah Diamnya SBY terhadap PKS

Hingga saat ini, SBY seperti melakukan ‘cerai gantung’, meminjam istilah pengamat politik LIPI Siti Zuhro, kepada salah satu partai peserta koalisinya, PKS. Istilah ‘cerai gantung’ ini karena SBY memang belum secara jelas menceraikan PKS, jadi hanya pembiaran atau mendiamkan PKS.

Apakah ini sebagai bahasa SBY kalau ia memang sudah tidak suka dengan PKS? Pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab jika elit PKS bisa sensi dengan gaya bahasa SBY yang selalu kompromis dan tidak ingin mengungkapnya di depan orang banyak.

Bahkan, sejumlah media sudah memberitakan kalau dalam waktu dekat akan ada reshufle kabinet yang kabarnya bersumber dari orang dalam Demokrat. Isu ini mungkin tidak berlebihan jika melihat ‘cerai gantung’ SBY terhadap PKS sudah berlangsung sebulan lebih.

Dari beberapa pernyataan petinggi Demokrat beberapa waktu lalu sejak isu reshufle mencuat, setidaknya ada beberapa sebab kenapa SBY melakukan ‘cerai gantung’ kepada PKS dan tidak terhadap Golkar. Pertama, ‘kebandelan’ PKS terhadap koalisi, setidaknya dalam pengguliran hak angket Century dan Mafia Pajak DPR, tidak mempunyai arah yang jelas alias misterius.

Hal ini berbeda dengan Golkar yang begitu mudah dipahami. Karena menyangkut kepentingan ketua umumnya yang diduga ikut tersangkut kasus mafia pajak. Begitu pun soal century yang sudah menjadi rahasia umum kalau Sri Mulyani agak ‘bermusuhan’ dengan Ical ketika masih sama-sama di kabinet.

Dengan kata lain, solusi ‘kebandelan’ Golkar bisa cepat ditanggulangi demi kepentingan Golkar dan Demokrat. Tapi dengan PKS, jangankan publik, elit Demokrat sendiri bingung apa yang diinginkan PKS terhadap manuver ini.

Kedua, nilai tawar PKS tidak setinggi yang dimilik Golkar, baik di pemerintahan dan jaringan dunia usaha. Boleh jadi, SBY dan Demokrat tidak merasa kurang apa-apa jika berjalan tanpa PKS.

Ketiga, adanya konflik kepentingan antara pihak Demokrat dengan PKS di beberapa kementerian. Setidaknya, apa yang kerap disuarakan elit Demokrat adalah agar PKS bisa tersingkir di Kementan.

Dan dari isu daging impor yang melibatkan kementerian yang dipimipn PKS ini, baru publik tersadar betapa besarnya nilai transaksi gelap kalau itu dintervensi sebagai bisnis orang partai.

Pertarungan di Internal PKS

Perang opini dan pernyataan yang terjadi antara elit PKS dan Demokrat soal reshufle kabinet menunjukkan satu garis kesimpulan tentang adanya pertarungan di internal PKS. Karena reaksi berlebihan terhadap SBY di kasus isu reshufle kerap muncul dari pihak DPR yang diwakili Anis Matta.

Begitu pun ketika muncul ancaman pilihan oposisi yang akan diambil PKS. Selalu saja, hal itu keluar dari pihak DPR yang lagi-lagi Anis, Mahfudz Siddiq, dan Fachri Hamzah. Reaksi seperti ini sama sekali tidak pernah keluar dari Presiden PKS, Luthfi Hasan, Hidayat Nur Wahid, dan dari kader PKS yang ada di kabinet.

Bahkan, publik masih ingat betul ketika mantan presiden PKS, Tifatul Sembiring yang juga Menkominfo pernah memberikan reaksi yang mengejutkan soal isu reshufle kabinet. Ia menyatakan bahwa ada yang ‘celamitan’ dari kubu DPR. Tapi, Tifatul tidak menyebut siapa dan kenapa soal mereka yang ‘celamitan’ itu.

Berbeda dengan Anis Matta dan elit PKS di DPR yang langsung menyebut siap memilih jalur oposisi, elit PKS di kabinet lebih memilih diam. Mereka hanya menyebut, “Itu hak prerogatif Presiden.”

Jika nantinya SBY melakukan reshuffle, dan memangkas kader-kader PKS dari Kabinet, maka Anis Mata merasa dirinya ‘nothing to lose’, karena mereka yang dipangkas, bukan ‘kelompoknya’, dan selama ini berbeda.

Beberapa kali Anis Mata mengatakan, bahwa PKS sudah tidak memikirkan "kursi menteri" lagi, ujarnya. Reshuffle tidak akan mempengaruhi kubu "DPR’, yang sekarang ini memegang kendali partai, dan mendapatkan restu Hilimi Aminuddin.

Akhir dari ‘Cerai Gantung’ SBY buat PKS

Publik kini mulai memahami seperti apa gaya kepemimpinan SBY, terutama dalam menyikapi ‘kebandelan’ PKS dalam koalisi. SBY tidak melakukan pertarungan di panggung terbuka, tapi lebih memilih jalur ‘diam’.

Boleh jadi, dari riak-riak yang muncul dari internal PKS selama ini, memberikan informasi berharga kepada SBY soal kelebihan dan kekurangan PKS. Dengan kata lain, SBY mulai tahu mana kepala dan buntut PKS, serta mana mulut dan perutnya.

Dari sini, SBY seperti mendapatkan rumus penyelesaian agar tidak terkecoh lagi dengan manuver PKS yang dianggap bisa merugikan SBY dan Demokrat.

mh

foto: vivanews