Bachtiar Chamsyah Kasihan Sama Jokowi

Di lain waktu mereka juga harus selalu siap untuk berpindah-pindah lokasi deklarasi karena ada pihak-pihak yang sengaja melemparkan berita hoax. Misalnya, di tempat yang akan mereka jadikan tempat deklarasi akan ada pembagian sembako atau tabligh akbar yang akan memancing masyarakat untuk datang berkerumun. “Kami pernah berganti lokasi sampai tiga hingga empat kali,” katanya dengan nada kegelian.

Meski lumayan melelahkan, tapi Bachtiar mengaku justru banyak yang mereka dapatkan dari perjalanan ke berbagai daerah.

“Masyarakat resah dan lelah. Tingkat kepercayaan pada pemerintah melorot drastis. Sebagai orang yang pernah sembilan tahun di pemerintahan (jadi Mensos). Ini sangat berbahaya,” jelas pria kelahiran Aceh itu.

Ia mengaku belum pernah melihat bagaimana tidak hormatnya masyarakat menyebut kepala negaranya seperti saat ini. Bukan hanya rakyat enggan menyematkan panggilan ‘pak’ pada Jokowi. Akan tetapi, sebutan-sebutan lain yang lebih bernada ejekan. Suatu yang tak pernah terjadi pada kepala-kepala negara sebelumya.

“Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya ingin baik saat menjabat atau pun nanti sesudahnya ia tetap dipanggil dengan penuh rasa hormat,” ujarnya.

Tentu bukan maksud Bachtiar dan KAMI untuk menakut-nakuti. Karena sesungguhnya keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada Jokowi dan pemerintah justru sangat gamblang dan terlihat jelas di media sosial yang saat ini menjadi media mainstream alias media arus utama.

Media yang amat mempengaruhi banyak orang dan menjadi refleksi keadaan yang tengah terjadi.
Pemerintah sendiri saat ini suka tidak suka juga mengakui kalau media sosial adalah media mainstream, terbukti dengan dikeluarkannya dana ‘unlimited’ bagi buzzer-buzzer yang mereka kerahkan di medsos untuk memuji-muji kinerja Jokowi dan pemerintah.

Pujian berbayar yang sangat berbahaya, mengaburkan fakta, dan bisa menggiring ke tepi jurang bencana. ** [FNN]

Penulis: Rahmi Aries Nova, wartawan senior FNN.co.id.