Cak Nun: Umat Islam Indonesia Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri

Para ilmuwan, aktivis atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema Perang Asia Pasifik, Perang Asimetris, Ku Bilai Khan seri-II, Manifestasi Dajjal yang “mensorgakan neraka dan menerakakan sorga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jowo gari separo cino londo gari sakjodho”, tafsir baru 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang pasti rakyat asli Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan penjajahan besar-besaran, di mana mereka belum 10% menyadarinya.

Kalau para pejuang kebenaran 411 tidak memperoleh goal yang dimaksudkannya pada ‘pertempuran awal’, tidak boleh kaget dan malah perlu introspeksi total. Misalnya, karena medan perang dan sasaran tembaknya dipersempit menjadi hanya Al-Maidah 51, yang di dalam ketersediaan pasal pidana tidak sukar untuk di-syubhat-kan. Tidak ada tonjokan tentang kasus-kasus korupsi, reklamasi, atau penyiapan Jakarta untuk pilot project disain penjajahan nasional. Lebih 90% kejahatan manusia tidak selalu bisa dijangkau oleh hukum: ketidak-berbudayaan dalam memimpin, ‘hawa’ negatif eksistensinya, kejinya ucapan, brutalnya tindakan, aura dan nuansa kebenciannya kepada Islam, dst.

Pejuang 411 terfokus pada setitik hilir dan belum menemukan determinasi terhadap hulunya yang dahsyat. Juga para pejuang 411 tidak tepat untuk meneruskan himbauan atau desakan kepada para pelaku sistem kekuasaan, institusi, pejabat Pemerintahan atau atasan-atasan, agar turut menembak sasaran yang mereka tembak. Sebab harus berjaga-jaga siapa tahu mereka semua adalah bagian dari suatu formasi kekuatan yang justru bertugas menjaga jangan sampai sasaran itu kena tembak.

Ummat Islam perlu melakukan ke dalam dirinya sendiri (Islam dan Kaum Muslimin) muhasabah komprehensif. Kaum Muslimin tidak bisa menunda waktu lagi untuk lebih mengislamkan dirinya, sebab itulah modal paling kuat untuk mempertahankan Indonesia. Kaum Muslimin di setiap titik harus menyelenggarakan tahqiqi keIslaman sampai ke anak-anak dan cucu-cucu mereka. Menyusun tradisi budaya kependidikan Ta’limul Islam, Tafhimul Islam, Ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam hingga tertradisikan Ta`dibul Islam. Setiap lingkaran Muslimin memastikan perkumpulan yang berlatih bersama untuk tidak ditimpa kemalasan berpikir, berpuasa dari egosentrisme kelompok, melawan tradisi amarah, atau memasrahkan persoalan-persoalan kepada para pemimpin, padahal pada saat yang sama sesungguhnya mereka tidak benar-benar percaya kepada pemimpin.

Ummat Islam tidak perlu melemahkan dirinya terus menerus dengan khilafiyah dan ikhtilafiyah, apalagi dengan tema-tema furuíyah. Aliran-aliran (produk tafsir) keIslaman tidak bisa mengelak lagi untuk mulai duduk bersama, ber-majlis-fatwabersama, memandu ummat mereka berhimpun dan bersatu di dalam kebijakan sejarah “wa amruhum syuro bainahum”. Mengkonsisteni keseimbangan berpikir, keadilan sikap, cerdas kapan hitam-putih kapan warna-warni, serta memastikan bahwa Ummat Islam tidak dipersatukan oleh kebencian bersama kepada pihak yang memusuhi mereka.

Melainkan berukhuwah sejati karena iman kepada Allah, cinta kepada Kanjeng Nabi dan penjunjungan kepada AlQur`an yang Allah Sendiripun maha bekerja untuk menjaganya.

Termasuk tidak membiarkan kebiasaan mudah kagum, gampang terhanyut, mentakhayulkan idola, Satrio Piningit, Ratu Adil, atau bahkan Imam Mahdi, tanpa mengelaborasinya dengan akal sehat dan rahasia firman. Syukur akhirnya Allah menghidayahi Ummat Islam untuk memiliki keridlaan sebagai “ummatan wahidah”, ummat yang satu dan selalu menyatu. Dengan kepemimpinan yang juga satu, yang Allah sendiri Maha Pengangkat dan Pelantiknya. Mohon mafhum ini bukan gagasan tentang Imamah.