Covid-19, Perang Dingin Baru AS Dan China

Eramuslim.com – ENAM tahun silam, dunia dibawa masuk ke situasi mengkhawatirkan,  menyaksikan konfrontasi baru antara Rusia dan Barat berkait dengan krisis Ukraina. Saat itu dirasakan, hubungan antara Rusia dan Uni Eropa, AS, dan beberapa negara Barat lainnya, berada pada titik paling rendah sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1991. Runtuh dan bubarnya Uni Soviet, pada Desember 1991 menandai berakhirnya Perang Dingin.

Perang Dingin, persaingan terbuka namun terbatas yang berkembang setelah PD II antara AS dan Uni Soviet  serta sekutu mereka masing-masing.  Perang Dingin dilancarkan di bidang politik, ekonomi, dan propaganda dan senjata secara terbatas. Istilah Perang Dingin, pertama kali digunakan oleh penulis Inggris George Orwell.

Dalam artikelnya yang diterbitkan pada tahun 1945, George Orwell memridiksikan akan terjadi kebuntuan nuklir antara “dua atau tiga negara super mengerikan, masing-masing memiliki senjata yang dapat digunakan jutaan orang untuk menjadi musnah dalam beberapa detik.”

Ketegangan antara Rusia dan Barat bereskalasi secara dramatis pada tahun 2014 setelah Moskwa melakukan intervensi militer atas Ukraina dan menganeksasi wilayah Crimea. Sebagai jawaban terhadap kebijakan Rusia itu, negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Kondisi seperti itulah yang kemudian digambarkan sebagai Perang Dingin Baru.

Dari sudut pandang Moskwa, tindakan intervensi militer ke Ukraina dan aneksasi atas Crimea adalah sebagai jawaban terhadap kebijakan Barat “mencelupkan tangannya” (intervensi) ke dalam sphere of influence, wilayah pengaruh Rusia. Hal itu antara lain, perluasan keanggotan NATO, Uni Eropa dan promosi demokrasi ke negara-negara Eropa Timur yang sejak akhir PD II ada di bawah sphere of influence Rusia atau malah menjadi negara satelitnya.

Di Tengah Pandemik

Kini, situasinya berbeda. Perang Dingin Baru tidak lagi seperti di masa enam tahun lalu, seperti yang terjadi antara Barat (AS) dan Rusia. Dan, bukan lagi antara AS (Barat) dan Rusia, melainkan antara AS dan China. Kedua negara, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia, bersama-sama ingin menjadi yang paling unggul. Maka itu sebagai buntutnya, terjadi persaingan strategis antara kedua negara.