Edi Mulyadi, Prabowo dan Suku Dayak, Bersandar di Ibu Kota Baru

Kemudian, menyoal Jin buang anak yang tertuju pada wilayah Kalimantan Timur oleh lontaran Edi Mulyadi. Pada hakekatnya tidak ada tendensius atau motif tertentu untuk merendahkan, melecehkan atau menghina warga Kalimantan Timur. Ungkapan Jin buang anak yang terucap spontan itu hanya merupakan ilustrasi atau padanan kata kalau tidak bisa dibilang satir terhadap kondisi geografis ibu kota baru tersebut. Istilah Jin buang anak itu, telah menjadi perumpamaan umum yang sering dipakai publik untuk menggambarkan tempat yang jauh, sulit dijangkau dan mungkin melalui medan yang berat jika ditempuhnya.  Jangankan di Kalimantan, dibeberapa tempat di Pulau Jawa pun masih banyak daerah yang bisa disebut tempat Jin buang anak. Bahkan kalau mau jujur, di wilayah yang berada dan tidak jauh dari jabodetabek masih ada tempat yang relatif susah aksesnya atau  terisolir dan seperti lokasi Jin buang anak.

Jadi, mengenai tempat Jin buang anak ini seperti yang disampaikan Edi Mulyadi memang tidak ada maksud buruk atau itikad jelek, termasuk pada wilayah Kalimantan Timur. Sehingga tidak perlu mendapatkan reaksi yang berlebihan dari siapapun.

Kebisingan Menutupi Masalah Mendasar dan Krusial

Pemindahan ibu kota negara yang baru memang sangat dipaksakan. Selain beraroma kepentingan borjuasi korporasi berbalut oligarki. Kebijakan yang proses pembahasan dan legislasinya serampangan itu. Terlalu beresiko mengundang bahaya dan resiko tinggi. Selain dampak  lingkungan fisik dan sosial budaya akibat dari konsep pembangunan yang tidak berbasis riset dan kajian kompeten. Publik masih ingat saat, Penajam Paser Utara dilanda banjir besar yang tidak surut hampir selama 1 bulan. Sepertinya rezim ini gagal fatal membangun pranata sosial dan pranata lingkungan bahkan sebelum Ibu kota baru dibangun. Pembabatan hutan, mengikis kekayaan adat dan menggusur kearifan lokal, menjadi  alas kapitalisme berwujud kota mercusuar rezim.   Belum lagi Anggaran pembangunan berbiaya hampir 500 triliun  itu, 52%nya kini dibebankan pada ABN.  Lagi, aksi tanpa kemaluan rezim yang awalnya tidak akan menggunakan APBN untuk proyek dengan akomodasi nyaman dan mewah bukan buat pribumi bumiputra.