Fenomena Pembunuh Bayaran

Oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede*

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, mungkin masih membayangkan sosok dan keberadaan pembunuh bayaran hanya berada di film-film atau di luar negeri.

Ternyata, di Indonesia sosok pembunuh bayaran sudah menjadi sesuatu yang nyata, setidaknya dapat dirasakan melalui berbagai kasus yang pernah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Juga, melalui berbagai pemberitaan yang berkaitan dengan itu.

(Polisi memeriksa para tersangka pembunuh bayaran di Mapolres Minahasa Utara, Selasa (11/5/2010) foto: TRIBUN MANADO/ROBERTUS RIMAWAN)

Pada bulan April 2010 lalu, misalnya, Polres Minahasa Utara (Sulawesi Utara), pernah mengungkap keberadaan kelompok pembunuh bayaran yang disinyalir bekerja profesional lintas wilayah Indonesia.

Kelompok pembunuh bayaran beranggotakan lima lelaki dewasa ini dapat terungkap, setelah mereka gagal menghabisi nyawa Alfrets Kumiliang (31 tahun), yang akrab disebut Boteng alias Boang. Percobaan pembunuhan terhadap Alfrets terjadi pada hari Rabu tanggal 28 April 2010, sekitar pukul 21.20 Wita.

Saat itu mereka bekerja untuk Meidy Umase (37 tahun), yang merupakan tetangga depan rumah Alfrets di Desa Kaima, Jaga Delapan, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara.

Bahkan, pernah diberitakan tentang pembunuh bayaran asal Indonesia yang beroperasi di Malaysia, dan berhasil ditembak mati aparat setempat. Mereka adalah Mat Shaari dan Andi, asal Madura, Jawa Timur. Sasasannya juga orang Jawa Timur yang bekerja di Malaysia.

Uniknya lagi, mereka diupah olah orang Jawa Timur juga, dengan kisaran harga antara 3.000 hinga 7.000 Ringgit Malaysia (sekitar Rp 9 juta hingga Rp 20 juta per kasus). Rupanya, bukan hanya upah mereka yang murah, bahkan nyawanya pun dihargai begitu murah.

Motif yang paling sering melatari adalah urusan utang-piutang dan rebutan perempuan serta jabatan. Semula, pembunuh bayaran asal Jawa Timur ini melakukan aksinya dengan menggunakan clurit. Terakhir, mereka sudah terampil menggunakan senjata api untuk membunuh korbannya.

Selain menjalani profesi sebagai pembunuh bayaran, anggota kelompok ini juga menjadi bandar judi di sekitar bedeng pekerja asal Jawa Timur atau Madura yang bekerja di Malaysia.

Di Lumajang, Jawa Timur, seorang istri bernama Nami (40 tahun) menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi suaminya Samuri (45 tahun), karena sakit hati akibat sering disiksa sang suami selama beberapa tahun belakangan ini. Keduanya warga Dusun Krajan, Desa/Kecamatan Ranuyoso, Lumajang.

Sebagaimana dikaui Nami di hadapan aparat kepolisian 6 Oktober 2010, ia menyewa SW (30 tahun) untuk menghabisi Samuri. Nami mengenal SW melalui perantaraan Tori (35 tahun) warga Dusun Karang Tengah, Desa Tegalbangsri, Kecamatan Ranuyoso, Lumajang.

Samuri dihabisi dengan cara dipukul berkali-kali menggunakan sebilah balok di bagian kepala hingga tewas. SW dibayar Rp 4 juta untuk aksi biadabnya itu.

Di tahun 2009, Polda Metro Jaya bersama dengan Polda Bangka Belitung berhasil menangkap seorang pembunuh bayaran bernama Ali Mudin pada akhir Januari 2009. Ali Mudin pada tanggal 19 Januari 2009 membunuh seorang pengusaha distributor timah asal Bangka Belitung bernama Abu. Ternyata, Ali Mudin disewa oleh istri Abu sendiri (WN). Motifnya, rebutan harta.

***

Bila contoh di atas lebih bersifat amatiran, contoh berikut ini terkesan lebih serius dan melibatkan pejabat negara serta pengusaha besar. Juga, melibatkan dana lumayan besar, dan melibatkan aparat penegak hukum baik yang masih aktif maupun yang sudah dipecat akibat desersi.

Menurut Erlangga Masdiana (kriminolog UI), di sebuah kota yang kompleks seperti Jakarta, memang terdapat orang-orang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Biasanya, mereka berlatar belakang aparat bersenjata. Akibat desakan ekonomi, mereka cenderung menggunakan keahlian yang dimilikinya, yakni menggunakan senjata api, untuk mencari nafkah.

(Hakim menunjukkan bukti senjata api (pistol) kepada saksi R Mulawarman (kanan), Juan Felix Tampubolon (tengah) dan Tommy Soeharto pada sidang kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dengan terdakwa Tommy Soeharto di Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Rabu, 24 April 2002. (Senjata tersebut diduga merupakan alat yang digunakan R Mulawarman dan Noval Hadad untuk membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada tahun 2000). foto: TEMPO/ Amatul Rayyani; Digital Image; 20020402)

Syafiuddin Kartasasmita (2001)

Ketika Syafiuddin Kartasasmita tewas ditembak, 26 Juli 2001, khalayak sudah bisa menduga, peristiwa tragis itu ada kaitan dengan kasus-kasus yang ditanganinya. Yaitu, kasus tukar guling Goro Batara Sakti, kasus yayasan milik HM Soeharto, kasus Bob Hasan.

Sebelum tewas ditembak, Syaifuddin adalah hakim Agung pada Mahkamah Agung RI dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Muda Bidang Pidana. Ia ditembak mati ketika menuju kantor, oleh empat orang yang mengendarai dua Yamaha RX King.

Empat peluru yang ditembakkan ke tubuh Syaifuddin membuatnya tewas tak terselamatkan. Peristiwa penembakan itu, melibatkan nama pengusaha besar Hutomo Mandala Putra (HMP). Bahkan, HMP sempat divonis 15 tahun penjara, untuk kasus pembunuhan Syafiuddin.

Salah satu bukti kuat yang menjerat HMP dalam kasus Syafifuddin antara lain keterangan Mulawarman dan Noval Hadad sebagai pelaku utama penembakan. Keduanya berhasil ditangkap pada 7 Agustus 2001.

Berdasarkan pemeriksaan aparat, Mulawarman mengakui telah menerima order dari Dodi untuk melakukan pembunuhan Syafiuddin Kartasasmita. Mulawarman menerima imbalan Rp 100 juta langsung dari tangan HMP. Kemudian, Rp 50 juta diantaranya diberikan kepada Noval Hadad.

Sedangkan senjata yang digunakan untuk mengeksekusi Syaifuddin, yaitu pistol Baretta FN Kaliber 9 mm diserahkan oleh HMP langsung kepada Mulawarman, dan sudah dikembalikan setelah aksi penembakan.

(Pemakaman Direktur Utama (Dirut) PT Asaba, Boedyharto Angsono di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, Jakarta, 22 Juli 2003. foto: TEMPO/ Santirta M; K17A/433/2003; 20030923)

Boedyharto Angsono (2003)

Sebelum terjadi kasus pembunuhan terhadap Boedyharto Angsono yang merupakan Direktur Utama PT Aneka Sakti Bhakti (PT Asaba), sudah terjadi percobaan pembunuhan terhadap anak buah Boedyharto, yaitu Paulus Teja Kusuma (Direktur Keuangan PT Asaba), yang terjadi pada tanggal 6 Juni 2003 di Jalan Angkasa, Jakarta Pusat, di depan Hotel Golden. Dua pembunuh bayaran bersepeda motor meski berhasil menyarangkan peluru ke dada dan leher Paulus, namun Paulus selamat dari kematian.

Barulah sekitar enam pekan kemudian, persisnya tanggal 19 Juli 2003, sejumlah pembunuh bayaran beraksi membunuh Boedyharto Angsono yang saat itu sedang bersama pengawal pribadinya, Serda Edy Siyep (anggota Kopassus). Keduanya ditembak mati sekitar pukul 05:30 WIB di depan lapangan basket Gelanggang Olahraga Sasana Krida Pluit, Jakarta Utara.

Tak sulit bagi aparat kepolisian mengungkap kasus pembunuhan tersebut. Sekitar dua pekan kemudian, tanggal 31 Juli 2003, aparat keamanan menangkap empat anggota Marinir yang diduga terkait kasus pembunuhan Boedyharto. Yaitu, Kopda (Mar) Suud Rusli, Kopda (Mar) Fidel Husni, Letda (Mar) Syam Ahmad Sanusi, dan Pratu (Mar) Santoso Subianto. Keempatnya merupakan pengawal pribadi Gunawan Santoso, mantan menantu Boedyharto sendiri. Untuk tugas biadab itu, keempatnya konon hanya dibayar sekitar Rp 4 juta saja.

Siapa Gunawan Santoso? Selain pernah menjadi menantu Boedyharto, Gunawan juga pernah menjabat sebagai eksekutif di PT Asaba. Sayangnya, ia terkait kasus penggelapan dana perusahaan sebesar Rp 25 milyar. Akibat perbuatannya itu (2002), Gunawan divonis 28 bulan penjara.

Namun pada tanggal 16 Januari 2003, Gunawan berhasil kabur dari LP Kuningan, Jawa Barat. Dalam masa pelariannya itu, ternyata Gunawan merancang aksi pembunuhan terhadap Paulus Teja Kusuma dan mantan mertuanya Boedyharto Angsono.

Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitu juga dengan Gunawan. Ia berhasil ditangkap aparat pada tanggal 12 September 2003, sekitar pukul 04.00 wib oleh anggota Reserse Polda Metro Jaya di lantai bawah area parkir Griya Kemayoran, Jakarta Pusat.

Selama dalam pelarian Gunawan melakukan face off (merubah wajah), terutama bentuk mata, hidung, dan bibir. Juga mengganti identitas. Ia bersembunyi di Griya Kemayoran, dengan uang sewa Rp 1,8 juta per bulan. Gunawan tak lupa melengkapi penampilannya dengan mobil mewah.

Imran Ray (2003)

Kasus Imran Ray terjadi pada tahun 2003, di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, saat sang pengacara masih berusia 36 tahun. Imran dibunuh oleh pembunuh bayaran yang disewa oleh Dwi Aryanto (saat itu juga berusia 36 tahun) yang punya nama panggilan berbau syi’ah, yaitu Husen Karbala, warga Perumahan Taman Laguna di Cibubur, Jakarta Timur.

Menurut Kapolda Metro Jaya saat itu, Irjen Pol Makbul Padmanagara, Dwi Aryanto menyewa pembunuh bayaran dengan imbalan Rp 300 juta, yang melibatkan sejumlah anggota dan mantan anggota TNI. Motifnya, Dwi Aryanto merasa ditipu oleh sang pengacara.

Peristiwa berdarah ini bermula pada tahun 2002. Ketika itu, Dwi Aryanto yang bekerja sebagai pegawai eselon V di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Jakarta, dimutasi ke Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur di Surabaya. Kepindahan itu membuat Dwi merasa tidak nyaman, dan ia berupaya bisa kembali ke tempat semula.

Dalam rangkaian upayanya itu, Dwi diperkenalkan seorang temannya dengan pengacara bernama Imran Ray. Konon, Imran Ray punya kenalan dengan sejumlah pejabat di Ditjen Pajak. Kepada Imran, Dwi meminta bantuan agar dirinya dikembalikan ke Jakarta. Imran pun menyanggupi dengan syarat Dwi menyediakan dana sebesar Rp 650 juta.

Namun hingga pertengahan 2003, kesanggupan Imran tak terbukti. Sementara itu, kesabaran Dwi tak lagi bersisa. Maka, ia menghubungi oknum bintara dari sebuah angkatan dan mengutarakan maksudnya membunuh Imran Ray, sang pengacara yang dianggap telah menipunya. Untuk pekerjaan itu, Dwi menyediakan imbalan Rp 300 juta.

Pagi hari tanggal 3 September 2003, masyarakat menemukan jasad Imran Ray dalam sebuah mobil di sekitar Kali Malang, Jakarta Timur, dengan penuh luka tusukan. Empat hari kemudian, polisi berhasil membekuk pelakunya.

Beberapa hari kemudian, polisi membekuk Dwi Aryanto di rumahnya. Di tempat itu pula polisi menemukan empat senapan laras panjang, lima pistol, dua senapan angin, dan 2.016 butir peluru.v Diduga, Dwi Aryanto nyambi sebagai pedagang senjata api ilegal.

Dari satu kasus di atas, kepada kita telah disodorkan fakta bahwa pegawai eselon V Ditjen Pajak memiliki sejumlah uang yang begitu banyak. Pertama, ia mampu menyediakan dana sebesar Rp 650 juta untuk mempertahankan posisinya di tempat semula. Namun gagal, dan ia merasa tertipu.

Oleh karena itu, ia menyewa pembunuh bayaran dengan imbalan Rp 300 juta untuk menghabisi nyawa orang yang dituju. Total hampir Rp 1 milyar dana yang ia gunakan untuk kemunkaran. Boleh jadi, uang sebanyak itu diperoleh melalui penyelewengan pajak sebagaimana dilakoni Gayus Tambunan yang ramai diberitakan media massa akhir-akhir ini.

Begitulah perjalanan uang yang diperoleh secara bathil, cenderung digunakan untuk urusan yang bathil pula. Akibatnya, meski sudah keluar uang sedemikian banyak, akhirnya yang diperoleh bukan sesuatu yang ingin diraihnya, justru masuk penjara.

(Kombes Wiliardi Wizard, Martir Yang Dikorbankan Institusi?)

Nasrudin Zulkarnaen (2009)

Kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnaen boleh jadi merupakan kasus terbesar sepanjang tahun 2009. Karena, melibatkan banyak orang besar. Nasrudin sendiri menjabat sebagai Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia ditembak mati usai main golf di Modernland, Tangerang, pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009, pagi hari. Sebelum akhirnya meninggal dunia pada pukul 12:05 wib, Nasrudin sempat koma beberapa jam.

Nama-nama besar lain yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan ini adalah Antasari Azhar (saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisaris Besar Polisi Wiliardi Wizard (saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Selatan), Sigid Haryo Wibisono (pengusaha, namun lebih diduga markus alias makelar kasus).

Nama-nama eksekutor yang disewa adalah Eduardus Ndopo Mbete alias Edo, Hendrikus Kia Walen, Daniel Daen Sabon, dan Heri Santosa. Mereka disewa Williardi melalui Jerry Hermawan Lo.

Untuk tugas ini Williardi menerima Rp 500 juta untuk biaya operasional. Uang sebanyak itu diperoleh dari Sigit Haryo Wibisono. Sebagai makelar kasus, Sigid mau memenuhi keinginan Antasari membiayai ‘proyek’ tersebut, tentu untuk tujuan yang sesuai dengan kiprahnya selama ini.

Di persidangan para eksekutor mengaku semula hanya ditugaskan meneror Nasrudin. Namun kenyataannya, Nasrudin tewas tertembus peluru. Kematian Nasrudin membuka fakta baru, bahwa ia punya istri ketiga bernama Rhani Juliani yang dinikahi secara sirri pada Juni 2007. Istri pertama Nasrudin bernama Sri Martuti. Sedangkan istri keduanya bernama Irawati Arienda, mantan pramugari Garuda Indonesia Arways.

Istri ketiga Nasrudin, Rhani Juliani, selama ini dikenal sebagai caddy yang sering menemani Antasari Azhar bermain golf di Modernland. Melalui Rhani yang ndeso inilah kasus besar yang melibatkan dana cukup besar, melibatkan nama-nama besar, bergulir tak terkendali.

Ancaman Allah terhadap para pemimpin

Begitulah perilaku sebagian pembesar kita. Ketika mereka diberi kekuasaan dan harta yang lebih dari cukup, mereka justru melakukan kemungkaran. Bahkan, dengan kekuatan finansialnya, mereka menyewa pembunuh bayaran demi harta, tahta dan barangkali juga wanita.

Pertanyaannya, kenapa sampai kekerasan bahkan pembunuhan itu melibatkan orang-orang besar dan dengan biaya besar?

Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ إلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ } . (ابن ماجه ، وأبو نعيم ، والحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان ، وابن عساكر عن ابن عمر)

"Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan tidak menganggap lebih baik apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan keganasan mereka di antara mereka." (HR. Ibnu Majah, Abu Nu’aim, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ibnu ‘Asakir, hasan-shahih menurut Syaikh Al-Albani)

Fenomena pembunuh bayaran telah nyata. Korbannya pun bergelimpangan. Beritanya pun memenuhi atmosfir negeri ini. Sebelum fenomena buruk itu terjadi pun ancaman terhadap para pemimpin dari Allah Ta’ala lewat Nabi-Nya telah tegas seperti dalam hadits tersebut.

Kasus-kasus itupun kemungkinan bisa membesar dan merajalela, bila semakin para pemimpinnya menyepelekan apa yang telah Allah turunkan yakni wahyu yang mengatur tata kehidupan ini dengan agama. Lebih lancang lagi bila para pemimpin itu tingkahnya bukan sekadar menyepelekan apa yang diturunkan Allah Ta’ala, namun lebih dari itu, yakni pura-pura mengindahkannya, padahal hanya untuk mengelabui manusia. Itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ [البقرة : 9 ، 10]

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS Al-Baqarah [2] : 9-10)

Upaya mereka membohongi Allah dan membohongi orang Islam pada hakekatnya hanyalah menipu diri mereka sendiri. Kalau toh selamat di dunia ini, (dan kenyataannya belum tentu selamat, karena ancaman bahwa Allah akan menjadikan keganasan sesama mereka itu adalah di dunia, dan memang terjadi) masih ada lagi ancaman yang lebih dahsyat yaitu untuk dirasakan di akherat kelak siksa yang pedih telah Allah sediakan untuk mereka.

Sadarilah wahai para manusia, terutama para pemimpin. Dan pada dasarnya setiap kita adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas apa yang kita pimpin. Jangan menipu Allah, jangan pula menipu orang Islam. Allah yang Maha dahsyat siksanya telah mengancam kita bila kita berbuat demikian. Fenomena pembunuh bayaran itu telah jadi bukti benarnya ancaman Allah Ta’ala lewat Nabi-Nya ‘alaihis shalatu wassalam.

*Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede, penulis buku Ummat Dikepung Maksiat, Politik Kotor dan Sesat.