“Fungsi” Penjara dalam Peredaran Narkoba

ilustrasi

Hertomy adalah bandar narkoba yang seharusnya mendekam di Nusakambangan sejak 2008. Ternyata dengan kekuatan uangnya, ia bisa tinggal di luar penjara. Yaitu, di sebuah rumah yang lokasinya tak jauh dari Lapas (lembaga pemasyarakatan alias penjara) Narkotika Nusakambangan.

Karena tempat tinggal Hertomy juga dilalui sungai, maka ia leluasa menerima kiriman sabu-sabu dengan aman melalui jalur sungai. Sebagai napi istimewa, Hartomy juga bebas berhubungan dengan dunia luar melalui jaringan telepon yang dimilikinya. Termasuk, berinteraksi dan bertransaksi dengan bandar dan kurir narkoba lainnya.

***

Sebelum kita membicarakan masalah kejahatan narkoba bahkan penjara jadi sarang pengedaran narkoba, mari kita baca sejenak berita hari ini tentang polisi perwira menengah yang tertangkap bersama cicit Soeharto dalam kasus narkoba. Inilah beritanya:

Ditangkap Bareng Cicit Soeharto, Pamen Polri Diseret Propam

JAKARTA – Mabes Polri mengatakan bahwa akan membawa oknum anggota polri berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) berinisial ES yang tertangkap bersama Putri Ari Sigit, akan 1ip roses ke propam Mabes Polri.

“Yang jelas nanti juga ada proses di Propam mabes Polri kalau memang terbukti terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Itu biasa ya (proses propam-Red),”ungkap Kabagpenum Kombes Pol Boy Rafli, saat dihubungi okezone, Minggu, (20/3/2011). 

Lebih lanjut Boy menambahkan bahwa oknum anggota Polri berpangkat perwira menengah berinisi ES saat ini tengah masih menjalani pemeriksaan di Dit Narkoba Polda Metro Jaya.  

“Iya memang benar saat ini sedang dilakukan pemeriksaan di Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya,” tuturnya. 

Namun Boy enggan merinci lebih detail terkait keterlibatan oknum tersebut.

“Untuk keterlibatanya sendiri kita belum mengetahui hingga seperti apa,” tutupnya.

Sebelumnya Mabes Polri membenarkan jika perwira berinisial ES tertangkap bersama Putri, cicit dari mantan Presiden Soeharto. Dalam penangkapan tersebut, polisi menyebut Putri membawa 0,8 gram sabu-sabu. (ahm)

Sumber: K. Yudha Wirakusuma – Okezone, Minggu, 20 Maret 2011 20:35 wib

Demikianlah beritanya. Mari kita mulai bicara tentang penjara dan narkoba.

Penjara dan Narkoba

Sebelum digunakan istilah LP (Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas), istilah penjara telah lebih dulu dikenal masyarakat kita. Maknanya, tempat mengurung sejumlah narapidana, membatasi mereka dari kebebasan yang didapat di luar penjara. Karena istilah penjara dianggap kurang manusiawi, maka diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Maknanya, tempat melakukan pembinaan terhadap sejumlah narapidana yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dengan harapan usai memasuki lembaga ini, sang narapidana siap kembali ke masyarakat.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Tak jarang, narapidana (napi) kelas teri malah naik kelas jadi napi kakap, karena selama mendekam di LP ia berinteraksi dengan pelaku kriminal yang tingkatannya lebih tinggi. Ia seperti memasuki sebuah lembaga ‘pendidikan’ yang membawanya naik peringkat di dunia kejahatan.

Napi narkoba, terutama yang berstatus bandar, tentu banyak uang. Dengan uangnya ia bisa ‘membeli’ hukum dan aparat penegak hukum yang umumnya bergaji minim. Bila pejabat LP setingkat Kalapas (kepala lembaga pemasyasrakatan) saja dengan mudah bisa digoda para boss narkoba, apalagi aparat di bawahnya. Ditambah lagi, selain gaji yang minim, juga law enforcement yang rendah. Maka, terjadilah hal-hal yang tidak seharusnya terjadi: LP yang seharusnya mengendalikan dan membina narapidana justru menjadi tempat yang aman bagi boss narkoba melanjutkan praktek haramnya, bahkan lebih leluasa.

Contoh aktualnya, kasus penangkapan Marwan Adli (Kalapas Narkotika di Nusakambangan) baru-baru ini, karena ia diduga terlibat dalam transaksi bisnis narkoba yang dikendalikan dari dalam LP oleh sejumlah napi (pengedar) narkoba. Selain Marwan Adli, pada Selasa 8 Maret 2011 lalu, juga turut ditangkap dua anak buah Marwan yaitu Fob Budhiyono (Kepala Seksi Bina Pendidikan) dan Iwan Syaefuddin (Kepala Pengamanan LP), serta Hartomy (salah satu napi narkoba).

Sehari kemudian (Rabu, 9 Maret 2011), cucu Marwan Adli bernama Rinald (17 tahun) turut ditangkap, karena rekeningnya dimanfaatkan sang kakek untuk menampung uang setoran dari Hertomy dan sebagainya. Beberapa hari kemudian (Jumat, 11 Maret 2011), dua anak Marwan bernama Andika Pratama (25 tahun) dan Aldiko (18 tahun) ditangkap BNN (Badan Narkotika nasional), karena diduga menerima uang hasil transaksi narkotika narapidana Nusakambangan melalui rekening tabungannya.

Kepada penyidik dari BNN, Marwan Adli mengaku mendapat uang setoran dari napi bernama Hertomy dan Yoyok. Hertomy adalah bandar narkoba yang seharusnya mendekam di Nusakambangan sejak 2008, ternyata dengan kekuatan uangnya bisa tinggal di luar penjara. Yaitu, di sebuah rumah yang lokasinya tak jauh dari Lapas Narkotika Nusakambangan. LP Narkotika adalah salah satu LP di Nusakambangan. Enam lainya adalah LP LP Terbuka, LP Batu, LP Tembesi, LP Kembang Kuning, LP Permisan, dan Pasir Putih.

Karena tempat tinggal Hertomy juga dilalui sungai, maka ia leluasa menerima kiriman sabu-sabu dengan aman melalui jalur sungai. Sebagai napi istimewa, Hartomy juga bebas berhubungan dengan dunia luar melalui jaringan telepon yang dimilikinya. Termasuk, berinteraksi dan bertransaksi dengan bandar dan kurir narkoba lainnya.

Sedangkan Yoyok, menurut informasi BNN, sudah melakoni bisnis narkoba dari dalam penjara sejak 8 tahun lalu. Dalam satu hari, Yoyok mampu mendistribusikan sabu-sabu sebanyak 10 kilogram. Karena itulah ia dijuluki ‘Jenderal Besar’ oleh orang-orang di sekitarnya. Kalau harga satu kilogram sabu-sabu di Indonesia mencapai Rp 2 milyar, berarti nilai transaksi Yoyok per hari mencapai Rp 20 milyar. Harga sabu-sabu di Indonesia memang begitu tinggi, misalnya bila dibandingkan dengan harga sabu-sabu di Iran yang ‘hanya’ mencapai Rp 50-100 juta per kilogram.

Keleluasaan yang bisa dinikmati bandar narkoba meski mereka berstatus napi, tentu berkat kemudahan yang diberikan pejabat di lapas. Kenyataannya memang demikian. Menurut BNN, Marwan Adli mengakui telah memberikan kemudahan bagi para bandar narkoba, misalnya berupa kebebasan menggunakan ponsel dan alat penguat sinyal. Sehingga, para bandar narkoba ini bisa terus mengoperasikan bisnis haramnya, bahkan bisa mengendalikan jaringan narkobanya meski berada jauh di luar lapas. Termasuk jaringan yang berada di luar negeri, antara lain Equador (Amerika Latin).

Di Berbagai Lapas

Konon, transaksi bisnis narkoba sebagaimana terjadi di LP Narkotika Nusakambangan juga terjadi di berbagai Lapas, dan tentu saja melibatkan aparat terkait. Misalnya, sebagaimana pernah terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan. Pada hari Senin tanggal 29 Maret 2010, Hafiluddin (Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulsel), memeriksa secara intensif Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakan Kelas I Makassar bernama Muhammad Fadli, yang diduga terlibat peredaran narkoba di lapas tersebut termasuk memberi kemudahan dan membekingi pengedar narkoba di lapas. Selain Fadli, juga diperiksa intensif Kepala Tata Usaha Lapas bernama Victor.

Pemeriksaan intensif terhadap dugaan keterlibatan Fadli dan Victor dalam bisnis narkoba, diawali dengan tertangkapnya Yunike (istri Fadli) dan Hasbullah (staf Kanwil Kemenkum dan HAM). Keduanya tertangkap saat melakukan transaksi narkoba jenis shabu-shabu sebanyak lima sachet dengan harga Rp 5 juta di Lapas Kelas I Makassar ini.

Aparat keamanan juga pernah membongkar jaringan narkoba internasional yang dioperasikan dari Lapas Banceuy, Bandung, Jawa Barat. Antara lain kasus tertangkapnya Noni (saat itu 23 tahun) di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara pada hari Minggu tanggal 17 Februari 2008. Noni tertangkap saat menyelundupkan heroin seberat tiga kilogram lebih (3,322 kilogram) dengan nilai saat itu mencapai Rp 5 milyar.

Ternyata Noni dikendalikan oleh napi narkoba bernama Jhon Sebastian (saat itu 30 tahun) asal Nigeria, yang masih mendekam di LP Banceuy, Bandung, dalam rangka menjalani vonis seumur hidup untuk kasus narkoba. Dalam mengendalikan bisnis narkoba dari penjara, Jhon bekerja sama dengan Hilary Ezegebu (saat itu 32 tahun) yang juga mendekam di LP Banceuy, dan sama-sama berasal dari Nigeria. Selain Hilary, Jhon juga bekerja sama dengan Joseph Samuel (saat itu 30 tahun) yang sedang mendekam di LP Cipinang, Jakarta.

Pada tanggal 22 Juni 2010, BNN pernah menggerebek pabrik sabu-sabu rumahan di Kompleks Cipinang Lontar Indah, Jatinegara, Jakarta Timur yang tak jauh dari LP Cipinang. Rumah mewah berlantai tiga yang dijadikan pabrik sabu itu, ternyata dikendalikan oleh Densos, salah seorang petugas LP Cipinang. Hasil produksi sabu-sabu itu, antara lain disalurkan ke LP Cipinang. Densos ternyata bagian dari jaringan narkoba internasional yang dikenadalikan Mr Lee asal China. Saat digerebek, dari rumah mewah itu antara lain berhasil disita 2,5 kilogram sabu-sabu siap edar dan beberapa bahan lain yang kesemuanya bernilai Rp 6 milyar.

Pada pekan ketiga Januari 2011, aparat Polda Metro Jaya menangkap seorang lelaki berinisial AS yang kedapatan membawa narkoba jenis sabu seberat 0,3 gram. Ternyata, barang haram tersebut diperoleh AS dari seseorang berinisial BPK yang saat itu masih mendekam di LP Salemba, Jakarta. Dari kasus ini, aparat kemudian berhasil mengungkap sumber barang haram tersebut, yang ternyata diproduksi di kompleks Ruko Duta Square, Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat. Dalam sehari, pabrik sabu ini bisa memproduksi hingga lima kilogram. Sebagian disalurkan ke lapas.

Pada hari Sabtu tanggal 15 Januari 2011, Polres Kota Pontianak, Kalimantan Barat, berhasil membongkar sindikat jaringan narkoba internasional dari Malaysia. Narkoba dipasok warga Malaysia bernama Law untuk diedarkan di Indonesia. Padahal, Law saat itu masih berada di balik jeruji besi Rumah Tahanan Pontianak. Dari kaki tangan Law berhasil disita antara lain 30 gram sabu dan 333 butir ekstasi.

***

Fakta dan data di atas hanyalah sebagian kecil saja dari kenyataan yang sebenarnya terjadi. LP yang seharusnya menjadi tempat pembinaan, justru berubah fungsi menjadi markas peredaran narkoba, bahkan tingkat internasional. Aparat LP yang seharusnya membina, justru ikut bermain, meberikan kemudahan bagi para bandar narkoba untuk menjalankan roda bisnis haramnya. Bahkan ada diantara mereka yang tidak sekedar memberi kemudahan, tetapi justru ikut bermain bersama para banda dan pengedar narkoba. Inilah gambaran tentang pajabat yang tidak amanah. Mereka memanfaatkan jabatan dan lembaganya untuk melakukan kemungkaran. (haji/tede/nahimunkar.com)