Eramuslim.com – Gencatan senjata antara Iran dan Israel yang ditengahi AS telah mengakhiri 12 hari saling serang, dengan PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan kemenangan. Namun, Iran juga menyatakan kemenangan, mirip dengan sikapnya setelah Perang Iran-Irak (1980–1988), yang juga diklaim sebagai “perang yang dipaksakan” oleh AS.
Iran kembali mengandalkan doktrin “kesabaran strategis” (strategic patience) — yaitu menahan diri secara taktis, sambil memperkuat posisi jangka panjangnya. Meski menyambut gencatan senjata, para pejabat Iran melihat ini bukan akhir konflik, melainkan jeda untuk membangun kembali kekuatan militer dan mengatur siasat diplomatik.
Gencatan senjata dianggap Iran sebagai peluang untuk:
- Menyusun ulang kepemimpinan,
- Memperkuat kembali persenjataan,
- Meluncurkan ofensif diplomatik global.
Serangan Israel 13 Juni 2025 menargetkan fasilitas nuklir, komandan militer senior, dan ilmuwan. Meski kehilangan tokoh penting, Iran tetap mampu meluncurkan serangan balik ke Israel dan membuat sistem pertahanan rudal Israel kewalahan.
Kelemahan utama Iran yang terungkap: tidak adanya kekuatan udara yang setara dengan lawan. Maka, Iran kini mengejar akuisisi sistem pertahanan udara S-400 dan jet tempur Su-35 dari Rusia, serta mempertimbangkan pesawat tempur J-10 dan J-20 dari China.
Kebutuhan mendesak lainnya: sistem Awacs (Airborne Warning and Control Systems) untuk deteksi dini serangan udara.
Persenjataan rudal Iran mengalami kerusakan dan kekurangan stok, terutama peluncur rudal jarak pendek dan menengah. Kini Iran akan memprioritaskan modernisasi rudal hipersonik seperti Fattah dan Kheibar Shekan.
Langkah hukum dan diplomatik: Iran akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional, menuduh Israel dan AS memulai perang tanpa deklarasi dan melanggar kedaulatan Iran.
Hubungan dengan IAEA: Presiden Iran telah menandatangani undang-undang untuk menangguhkan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional, menuding pengawasan yang bias.
Cadangan uranium Iran dilaporkan telah dipindahkan diam-diam ke lokasi aman sebelum perang, dan tidak terkena serangan. Ini bisa menjadi alat tawar strategis dalam konflik selanjutnya.
Gencatan senjata ini bukanlah akhir konflik, tetapi bagian dari strategi jangka panjang Iran: menyerap pukulan, membalas dengan terukur, dan menggunakan waktu sebagai senjata.
Kesabaran strategis Iran bukan berarti pasif, melainkan bentuk perang psikologis dan politik jangka panjang. Kelangsungan gencatan senjata ini tidak hanya tergantung pada rudal atau diplomasi, tetapi pada siapa yang paling cerdas memanfaatkan waktu.
Sumber: Middle East Eye