by M Rizal Fadillah
Setelah Jokowi dan keluarga berhasil mengambil alih Partai Solidaritas Indonesia (PSI) lalu menjadikan Kaesang bin Jokowi sebagai Ketua Umum, maka bidikan terdekat adalah Partai Golkar. Dimulai dengan mengkudeta Airlangga Ketum Partai Golkar dimana dengan wajah menyedihkan Airlangga Hartato umumkan pengunduran diri.
Sebagaimana biasa kasus adalah senjata ampuh untuk membuat menyerah dan turut pada perintah. Sekelas Ketum Partai Golkar ambruk dan Partai Golkar pun dicoba untuk diambil alih. Akankah Partai Golkar dipimpin orang bahlul dan Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina ? Partai yang selalu menempel pada kekuasaan ini terancam akan diterkam oleh kekuasaan.
Jika benar Jokowi mengambil alih, betapa tragisnya. Dahulu Soeharto menjadi Ketua Dewan Pembina dan sebagai Presiden ia sangat kuat, kini jika Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina tetap ia akan belepotan maklum veteran atau pensiunan yang sudah tidak memiliki kekuasaan. Golkar sama sekali tidak diuntungkan. Jokowi hanya asesori atau manekin saja.
PSI pimpinan Kaesang bin Jokowi hasil pengambilalihan juga. Di samping berprinsip tegak lurus kepada Jokowi juga mengembangkan Jokowisme, suatu isme yang tidak ada bobot selain sama dengan nihilisme atau bohongisme. PSI merajalela dan bisa “menggandeng” PKS di Solo. PKS pun terdegradasi ke tingkat PSI jika berhasil dipecundangi Jokowi.
Betapa kekanak-kanakannya Partai Golkar apabila dapat dipermainkan oleh Jokowi dan dinastinya. Awalnya Jokowi mencoba untuk mengkooptasi PDIP tetapi tidak berhasil, hanya mampu melumpuhkan.. Polanya klise yaitu sandera kasus. Partai Golkar menghadapi ujian. Berbeda dengan masa Setya Novanto yang juga dihajar kasus. Saat itu hanya penyanderaan dan penghukuman sedangkan kini pengambilalihan.
Meski Plt Ketum Golkar itu Agus Gumiwang Kartasasmita namun yang diramaikan untuk Ketum definitif adalah Bahlil Lahadalia kepanjangan tangan Jokowi. Jika ditolak ada stok Bambang Soesetyo atau mungkin Luhut Binsar Pandjaitan. Tujuan utama penempatan figur tangan Jokowi adalah untuk mengamankan Jokowi pasca lengser. Jokowi pun berusaha masuk dalam struktur, misalnya di Dewan Pembina.
Jokowi yang bernaung dalam Partai Golkar bukan saja mencari aman tetapi juga untuk dapat tetap berperan. Prabowo sebagai Presiden “tidak akan berani” mengotak-atik Jokowi yang “tokoh” Partai Golkar. Membunuh Jokowi sama saja membunuh dirinya. Prabowo memang bawaannya penakut. Kalaupun ia menggebuk maka itu adalah wujud dari sikap nekad atau panik, bukan berani.
Andai permainan yang bermula tekanan mundur Airlangga berujung pada pengusungan Ketum PSI Kaesang oleh Partai Golkar untuk menjadi Cagub/Cawagub di Jakarta atau Jawa Tengah, maka terbuktilah bahwa Partai Golkar itu ternyata kedudukannya selevel dengan PSI atau bahkan lebih rendah.
Partai dewasa dan matang yang tunduk pada partai anak ingusan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 14 Agustus 2024