Kapan NU Mau Kembali ke Khittoh?

Dalam pemilihan langsung, meski terkesan demokratis, ini rawan intervensi. Baik intervensi parpol, penguasa atau yang lain. Sebab, pintu untuk melakukan intervensi sangat luas yaitu melalui DPC dan DPW. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berupaya membujuk dan merayu DPC dan DPW untuk memilih calon tertentu. Ulama kok dibujuk… Para pembujuk akan menjawab: mereka juga manusia. Maksud lu?

Tidak sepatutnya calon ketua PBNU memiliki timses. Ini akan rawan terjadinya money politics. Sampai di sini, muktamar rentan kehilangan marwah dan kewibawaannya jika ada pihak-pihak (sebut saja oknum) yang berambisi untuk menjadi ketua PBNU.

Dalam sistem pemilihan langsung, pernah terjadi gugatan hukum di Muktamar Cipasung. Saat itu, Abu Hasan kalah dari Gus Dur, lalu mendirikan KPPNU. Abu Hasan juga membuat tuntutan ke pengadilan. Hal semacam ini mestinya tidak perlu terjadi.

Sistem pemilihan langsung telah disepakati untuk Muktamar ke-34 di Lampung. Tugas berikutnya adalah mengawal jalannya Muktamar, dan memastikan tidak ada intervensi ataupun money politics. Karena ini akan merusak wajah ulama, organisasi NU dan juga kaum Nahdhiyin.

Untuk menghindari hal-hal yang berpotensi mengotori Muktamar, maka harus ada kriteria yang ketat terkait Calon ketua PBNU.

1. Calon ketua PBNU mesti ulama beneran. Alim, punya integritas, dan diutamakan yang punya pesantren (pengasuh pesantren). Sebab, ketua PBNU nantinya akan menjadi referensi, panutan dan keteladanan.

2. Punya pengalaman organisasi ke-NU-an. Setidaknya pernah aktif sebagai pengurus NU di pusat atau wilayah. Ini penting, karena dalam mengelola organisasi sebesar NU, mesti ada pengalaman. Banyak PR yang masih harus dirapikan di NU. Ini tugas yang tidak ringan.

3. Bukan ulama politik. Jika NU dipimpin oleh bukan ulama politik, ini akan jauh lebih elegan. Kalau terpaksa, setidaknya, calon sudah lama tidak aktif di politik praktis. Supaya tidak ada dikotomi kepentingan. Terpaksa lagi, ya tidak boleh merangkap jabatan politik. Yang terakhir, memang agak mengkhawatirkan. Sebab, mengurus NU beda dengan mengurus politik. Secara mental dan standar moralnya beda. Beda banget.