Kereta Cepat Akan Mangkrak?

Mulanya, proyek kereta cepat ini berkeinginan mengurangi waktu tempuh dari pusat kota Kuala Lumpur ke pusat bisnis Singapura menjadi 2,5 jam dari rata-rata lebih dari empat jam via udara.

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PROYEK Kereta Cepat Jakarta-Bandung berpotensi mangkrak. Pembengkakan biaya proyek akan menjadi sengketa: siapa yang mau menanggung? Pihak China sulit menanggung biaya yang bengkak lebih dari 30%, dari 6,07 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS, apalagi jika tanpa alasan dan perhitungan yang jelas. Bisa-bisa mereka disangka korupsi, dan terancam hukuman mati.

Oleh sebab itulah, pihak China minta Indonesia yang menanggung seluruh pembengkakan biaya ini: 100%. Tapi Indonesia tidak bisa menanggung 100%, karena ini proyek patungan (joint venture), di mana kepemilikan Indonesia hanya 60%. Menanggung seluruh pembengkakan biaya ini sama saja dengan merugikan keuangan negara, berarti tipikor, tindak pidana korupsi: siapa yang mau jadi korban?

Karena itu, proyek ini terancam dispute yang bisa berkepanjangan, dengan kemungkinan deadlock, tidak selesai hingga Pemilu dan Pilpres 2024. Kalau ini terjadi, DPR dan presiden yang akan datang kemungkinan besar akan  meninjau ulang proyek ini. Mereka akan minta audit menyeluruh.

Kalau sampai ada indikasi penyimpangan, mungkin pemerintahan yang baru bisa minta proyek dibatalkan, seperti yang terjadi di Malaysia.

Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab: hanya eksekutif, atau eksekutif bersama legislatif?

Malaysia-Singapura

Sebelumnya, Pemerintah Malaysia dan Singapura telah sepakat menghentikan proyek kereta cepat bernilai US$ 25 miliar (Rp 352,89 triliun) yang diteken pada 2016. Kesepakatan itu dicapai setelah perundingan yang berlarut-larut sehingga gagal memecahkan kebuntuan atas tuntutan Malaysia yang ingin ada perubahan blue print proyek tersebut.

Sebagaimana dilaporkan SCMP, Jumat (1/1/2021), akibat pembatalan itu, Pemerintah Malaysia harus membayar denda lebih dari 100 juta dolar Singapura (Rp 1,06 triliun) kepada Singapura. Dalam pernyataan bersama antara PM Malaysia Muhyiddin Yasin dan PM Singapura Lee Hsien Loong, Singapura mengonfirmasi tidak bisa menyetujui perubahan yang diusulkan Malaysia hingga deadline 31 Desember 2020.

“Kedua negara akan mematuhi kewajiban masing-masing dan sekarang akan melanjutkan dengan tindakan yang diperlukan sebagai hasil dari penghentian proyek tersebut,” demikian isi pernyataan bersama kedua negara.

“(Kedua negara) berkomitmen untuk menjaga hubungan bilateral yang baik dan bekerja sama secara erat di berbagai bidang, termasuk memperkuat konektivitas kedua negara,” lanjutnya dilansir CNBC Indonesia (01 January 2021 20:30).

Sebagai gambaran, perjanjian bilateral proyek ambisius senilai US$ 25 miliar (Rp 352,89 triliun) itu diteken pada 2016. Saat itu, posisi PM Malaysia masih dijabat Najib Razak.

Namun, situasi berubah lantaran Najib tersangkut kasus korupsi 1MDB. Hal tersebut diikuti gejolak politik di Malaysia di mana terjadi dua kali pergantian pemerintahan.

Aliansi Pakatan Harapan yang di luar dugaan telah memenangi pemilu 2018 meminta agar proyek ini dinegosiasikan ulang. Mereka mempertanyakan biaya dan manfaat proyek tersebut. Alasan lain adalah kekhawatiran menumpuknya utang yang harus ditanggung Malaysia.

Pemerintahan Pakatan Harapan lalu digulingkan, Maret lalu. Pemerintahan baru di bawah kendali PM Muhyiddin mengupayakan beberapa perubahan pada rencana itu, termasuk penataan kembali jalur kereta cepat agar bisa menghubungkannya ke Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA). Namun, pejabat Singapura menolak permintaan itu.