Ketika Obama Membeli Negeri-Negeri Arab

Pertama kali presiden AS itu menjejakkan kakinya di tanah Arab, ia sudah menyihir rakyat Arab, yang memang sejak awal sebagian besar sudah terkesima.

Pidatonya kemudian mendapatkan standing ovation, sebuah penghargaan tak tertulis yang biasa dilakukan di Barat, dan nilainya melebihi piagam dan piala resmi apapun.

Obama berbicara tentang semuanya, termasuk menyitir salah satu ayat Al Quran, yang—tentu saja!,—membuat warga Arab semakin jatuh hati. Tidak hanya Arab, dunia pun seakan tersihir oleh isi pidato itu. Hanya sedikit sekali orang yang bisa menangkap kemana arah pembicaraan Obama. Benarkah ia ingin agar orang Islam di seluruh dunia berjumlah sekitar 1,5 miliar ini memberikan cara pandang yang berbeda kepada Amerika, negaranya itu?

Faktanya, jika mau ditelaah lebih lanjut, pidato Obama lebih banyak berat sebelah, dengan komparasi yang tak berimbang, dan ini ditelan mentah-mentah oleh audiens. Obama mungkin tengah berpikir bahwa ia tengah membangun hubungan dengan status baru dengan orang-orang Islam, tapi ia banyak melupakan sisi-sisi dan perspektif kepentingan umat Islam. Ketika berbicara tentang emansipasi wanita di negara-negara Muslim, Obama membandingkannya dengan perjuangan wanita di Amerika.

Ketika berbicara tentang Yahudi, ia menyodorkan konsep dua negara, dengan retorika, “Orang-orang Israel harus tahu bahwa hak-hak orang Yahudi Israel tak akan bisa ditolak, sama dengan hak-hak orang Palestina.” Lihatlah, Obama menyebutkan Israel terlebih dahulu, seolah-olah Palestina adalah yang datang belakangan dan mengganggu eksitensi Israel.

Obama juga memutar-mutar sejarah ketika ia mengatakan bagaimana “Islam selalu menjadi bagian dari kisah Amerika.” Ia berkata, “Ketika penyerahan Tripoli 1796, presiden kami yang kedua, John Adams menulis, “AS sama sekali tidak mempunyai karakter menentang hukum, agama dan ketenangan umat Muslim.” Kedengarannya lembut dan seperti tengah merayakan hubungan Amerika dan umat Muslim, ketika kenyataannya dalam sejarah AS justru menyuap para penguasa Tripoli agar bisa menyerang Tripoli. Inilah konflik AS pertama dengan negeri Muslim di Afrika Utara. Di satu sisi Obama mengkritisi dunia Islam namun di sisi lain ia juga begitu defensif melindungi Amerika-nya. “AS telah menjadi salah satu sumber terbesar dari kemajuan dunia sekarang ini…”

Obama tidak banyak menyebut kebijakannya di Iraq dan Afghanistan, dan malah mempertajam ulasan tentang Holocaust dengan lagu lama yang sudah biasa kita dengar di media. “Menyangkal kejadian Holocaust sungguh tak bertanggung jawab, memalukan, dan hasad. …” Obama lupa, tidak satupun orang Islam yang menyangkal tentang Holocaust yang dilakukan Nazi Jerman kepada Yahudi, tapi yang menjadi keberatan adalah mengapa Yahudi menimpakan kompensasinya kepada dunia Islam dengan klaim atas tanah Palestina? Juga soal jumlah definitif korban Holocaut yang disebutkan Obama sebesar 6 juta orang, apakah tak membaca dan melihat hasil penelitian para ahli selama ini?

Obama juga membuat sebuah sindiran tajam kepada Mesir. Bahwa selama ini ada kecenderungan jika umat Katolik Koptik yang ada di Mesir banyak ditolak oleh kelompok lainnya. Lantas, bagaimanakah dengan nasib orang-orang Islam di Amerika sendiri yang untuk makanan pun, mereka harus bersusah payah mencari yang halal di senatero negeri Amerika? Sedangkan umat Kristen Koptik di Mesir diperlakukan begitu bagi. Mungkin seseorang harus membaca novel “Ayat-Ayat Cinta”—bukan filmnya, untuk sekadar bisa mengetahui hubungan Koptik dan Muslim di Mesir.

Kita sadar, bahwa pidato Obama tak mungkin memuaskan semua pihak, terutama mereka yang telah terlanjur membenci Amerika karena George W. Bush, tapi pidato Obama telah melakukan sebuah pekerjaan yang efektif pada dunia Muslim secara dhahir. Obama adalah seorang salesman ulung melebihi pendahulu sebelumnya (betul, Presiden Bush!), dengan artian, para pendengarnya akan membeli pesan yang telah disampaikan oleh Obama. (sa/cm)