Membangun Budaya Perpecahan

Oleh:  Yusuf Blegur – Mantan Presidium GMNI

 

Satu-satunya alasan  yang membuat negara begitu berjarak dengan  rakyat adalah kekuasaan.

Saat konstitusi terlalu mengagungkan kedaulatan rakyat,  yang terjadi justru  kehidupan ringkih tanpa kemanusiaan.

Moralitas dan keagaman tak mampu lagi menjadi pakaian  yang melindungi diri, tak sanggup  menghangatkan jiwa dan tubuh  dengan keberadaban.

Pemimpin-pemimpin masyarakan sibuk menghiasi diri denyan kekayaan, seraya tergesa-gesa menanggalkan kehormatan.

Sistem politik hanya mampu membangun kelas-kelas sosial, tanpa proses pembelajaran yang menghasilkan nilai-nilai keadilan.

Habitat dan populasi  semakin rawan dan rentan bertubrukan, rawan mengembangbiakan kecurangan dan penghianatan.

Kebutuhan berlebih pada materi dan jabatan,  membuat orang semakin enggan mengambil peran pahlawan.

Ketimpangan akan selalu dipenuhi gejolak dan pemberontakan, tanpa penyelasaian menyandang gelar radikal dan  fundamental serta intoleran.

Negara kian memasuki episode yang genting, menyoal pergulatan pemikiran, diskursus dan kebijakan gerakan meyelamatkan kebangsaan.

Ketika semua aturan sulit untuk  ditegakkan,  pemerintah kebablasan dan jauh meninggalkan keteladanan.

Sementara rakyat semakin lahap menikmati menu konflik,  menelan mentah-mentah makanan berlumur bumbu-bumbu perpecahan.

Buzzer dan  infuencer mulai menyebar kecemasan,  mengobarkan caci-maki, hujatan dan fitnah  sebagai api peperangan.

Bangsa Ini begitu percaya diri dan bangga dengan kontradiksi,  tapi enggan dan marah jika dicap memelihara kemunafikan.

Hidup diliputi kesengsaraan dan penderitaan, namun tetap mengaku dalam kebahagiaan.

Seolah-olah perform  menegakkan kebenaran, namun sesungguhnya marak  melakukan kejahatan.

Dengan kesadaran dan puas menikmati ketidaksesuaian,  menjadikan semua distorsi penyelenggaraan negara sebagai suatu kebudayaan. [FNN]