Nusantara: Ibukotanya Oligarki

Berbeda dengan Brasilia yang sukses menjadi ibukota baru Brasil, karena didukung rakyat, serta prosesnya panjang dan bertahap sehinga perencanaannya pun juga matang.

Akar ibukota Brasília berasal dari tahun 1789, ketika revolusioner Joaquim José da Silva Xavier, juga dikenal sebagai Tiradentes yang menjadi martir bagi kemerdekaan Brazil, pertama kali mengusulkan gagasan untuk memindahkan ibukota dari pesisir Rio de Janeiro ke lokasi terpusat di pedalaman Brasil.

José Bonifacio (politisi Brasil), mengingatkan kembali ibukota baru sebagai simbol kemerdekaan Brasil, yang kemudian nama Brasilia pertama kali diusulkan tahun 1822 bertepatan dengan kemerdekaan Brasil.

Ide tersebut baru disetujui Kongres tahun 1891. Pada tahun berikutnya,1892, kongres menyetujui sebuah ekspedisi untuk melakukan survei di dataran tinggi Brasil bagian tengah dan menetapkan batas-batas ibukota baru. Ekspedisi tersebut termasuk astronom, insinyur, militer, dokter, ahli botani dan banyak ilmuwan lainnya.

Tahun 1946 konsep ibukota baru tersebut masuk dalam konstitusi Brasil. Dan akhirnya tahun 1956, di bawah Presiden Juscelino Kubitschek Brasilia secara resmi dibangun sebagai ibukota baru Brasil.

Saat bersamaan Soekarno pun mewacanakan ibukota baru Palangkaraya tahun 1957. Bahwa di dalam konsep ibukota baru Brasilia ada konsep-konsep kota modern, ekonomi dan keberlanjutan lingkungan itu merupakan faktor teknis saja. Prinsipnya adalah ibukota baru Brasil merupakan amanat rakyat sebagai simbol kemerdekaan Brasil.

Kedua, Rencana pemindahan Ibukota tidak tepat dilakukan saat ekonomi Indonesia sedang sulit. Fokus pemerintah saat ini seharusnya konsiten menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Ibarat orang yang terkena stroke sedang memulihkan staminanya dan kemampuan motoriknya, tidak mungkin untuk disuruh berlari kencang. Dia hanya sanggup jalan perlahan menuju jalan normal. Perlu waktu lebih lama agar bias berjalan cepat atau berlari. Begitulah tahapannya.

Saat ini keuangan Negara sedang berat dan ekonomi belum pulih. Tetapi tiba-tiba dipaksa membangun mega proyek ibukota baru. Selain itu, kapasitas rezim Jokowi dalam pembangunan ekonomi telah menunjukkan prestasi yang tidak bagus.

Periode pertamanya hanya stagnan di pertumbuhan 5%. Itu telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Dan hari ini banyak BUMN menanggung beban berat utang.

Banyak pula infrastruktur yang dikerjakan tanpa pertimbangan prioritas kebutuhan dan tanpa perencanaan yang matang, sehingga tidak fisibel untuk dikerjakan, meleset anggarannya atau tersendat pelaksanaannya, misalnya kereta cepat Jakarta-Bandung.

Bahkan proyek yang sudah selesai pun seperti bandara Kertajati, karena sejak awal tidak memperhatikan biaya operasional dan mekanisme pemeliharaannya, sementara kehadirannya tidak dirasakan manfaatnya oleh pengguna bandara sehingga mengancam keberkelanjutan bandara.