Nusantara: Ibukotanya Oligarki

Jadi proyek ibukota baru seharusnya dikerjakan oleh rejim yang menunjukkan konsistensi dan prestasi yang mengesankan dalam pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi inilah yang kelak akan menjadi sumber pembiayaan baru bagi ibukota baru.

Pembangunan ibukota baru juga seharusnya bukan karena didorong kepentingan legacy (warisan) rezim semata, agar dikenang sebagai rejim yang mendirikan ibukota baru dan menutupi semua kekurangan dan kejahatan yang terjadi selama rezim itu berkuasa. Perlu melihat contoh Piramida Mesir yang dikagumi dunia dan hingga kini masih dikunjungi banyak wisatawan, tetapi tetap tidak menghilangkan sejarah kelam Firaun.

Terkait pembiayaan pembangunan ibukota baru, pemerintah tidak dapat meyakinkan rakyat, bahkan terlihat adanya agenda sendiri-sendiri di kabinet Jokowi. Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa dari anggaran PEN yang hampir Rp 456 triliun, Rp 178 triliun dianggarkan untuk penguatan pemulihan ekonomi, di mana salah satu pos penerimanya adalah Kementerian PUPR. Dari pos tersebutlah akan digunakan untuk pembangunan jalan di ibukota baru (19 Januari 2022).

Anehnya Menko Perekonomian Airlangga membantah dana PEN akan digunakan untuk ibukota baru, melainkan dari dana Kementerian PUPR, meskipun tidak dijelaskan dari mana sumber dana di Kementerian PUPR tersebut (24 januari 2022). Artinya ini menunjukkan ketidakjelasan sumber dana pembangunan ibukota baru karena memang sejatinya kondisi keuangan negara sedang sulit dan tidak fisibel untuk membangun mega proyek ibukota baru.

Sri Mulyani sangat mungkin berkata jujur, bahwa dari anggaran kementerian manapun, selama negara tidak mendapatkan sumber pendapatan baru, maka pembangunan ibukota baru berasal dari sumber-sumber pendapatan hari ini, yang mana prioritasnya adalah untuk penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi.

Ketiga, jaminan atas realisasi pemindahan ibukota tidak cukup melalui undang-undang. Ibukota negara seharusnya ditetapkan dalam konstitusi seperti halnya bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan. Bahkan wilayah dan batas-batas Republik Indonesia pun harus ditetapkan dalam konstitusi, sebagai “sertfikat” yang sah bahwa rakyatlah yang memiliki Tanah Air Indonesia.