Pemindahan Ibukota Negara Bukan Kewenangan Presiden

Demokrasi kita yang sudah bercorak liberal ini adalah jalan tol bebas hambatan bagi kelompok ECI –yang telah menguasai ekonomi Indonesia, untuk bertarung di bidang politik menguasai partai politik, menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif dan menjadi apparatus yudikatif.

Dalam kata pengantarnya La Ode menulis  “…bahwa ECI sebagai imigran China di Indonesia akan ‘mengambil alih’ kekuasan Pribumi Nusantara Indonesia atas NKRI melalui saluran demokrasi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan. Rencana politik itu terhitung mulai 2019 – 2029. Upaya itu tidak disadari oleh hampir seluruh Pribumi Nusantara Indonesia.”

Akankah dimulai dari pemindahan ibu kota negara? Tahun 2019-2029!

Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya: pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya?

Ada beberapa contoh di dunia yang gagal dengan ibu kota negara barunya. IbukotaMyanmar, Naypyidaw, berfungsi sebagai pusat administratif negara yang kini dikuasai junta militer.

Alhasil, Naypyidaw lebih banyak dihuni pegawai negeri sipil (PNS) serta anggota hingga pejabat militer Myanmar. Sudah 16 tahun Naypyidaw menjadi ibukota Nyanmar. Jadi, tidak terlalu berhasil.

Brazilia, kota di tengah hutan juga gagal. Ibukota Tanzania pindah dari Dar es Salam gagal. Aussie juga sempat ramai dengan rencana pindah ibukota, tapi karena ribut terus, akhirnya gagal. Hanya Putrajaya dan New Delhi yang pindahnya kurang dari 100 km dari ibukota lama yang berhasil.

Coba sekarang kita tengok kondisi IKN Penajam Paser Utara (PPU), Kaltim.

Daya dukung lahan: a) PPU sangat sukar air baku, akuifer tipis; b) Untuk air dangkal, membutuhkan rekayasa embung, ada sungai tetapi berbasis musim; c) Terdapat silangan sesar-sesar gempa; d) Membutuhkan teknologi yang cukup tinggi untuk mengolah lahan yang super mahal; e) Banjir karena air rob.

Apakah ekonomi perkotaan sekitarnya cukup kuat? a) PPU cukup jauh dari Balikpapan; b) Balikpapan dan Samarinda apakah cukup kuat mendukung IKN; c) Berbeda dengan Jakarta yang memiliki daya ungkit poleksosbud yang sangat tinggi; d) Jarak pemindahan tidak boleh terlalu jauh dari ibukota lama; e) Mohon lebih Rasional kalau IKN Lebih dekat Jakarta.

Menurut Prof. Widi A. Pratikto, Guru Besar ITS Alumni PPSA XV Lemhanas, dari analisa Hankam Negara – PPU sangat rawan serangan dari Darat, Laut, dan Udara. [FNN]