RUU Intelijen: Quo Vadis Rezim Represif?

Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Saat ini DPR dan Pemerintah sedang mencoba menyusun beberapa undang-undang yang terkait reformasi sektor keamanan. Dalam program legislasi nasional, DPR berencana membahas paket undang-undang pertahanan nasional yaitu di antaranya RUU Intelijen, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Keamanan Nasional.

Sebagian pihak memandang kebutuhan terhadap beleid (aturan perundang-undangan) ini memang mendesak. Secara khusus terkait Intelijen sifat mendesaknya karena di Indonesia belum pernah ada aturan setara undang-undang yang mengatur badan intelijen ini sejak dibentuknya.

Awal resminya pada 7 Mei 1946 sebuah badan yang di sebut Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) di Pimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis dengan bagian yang disebut Field Preparation (FP), kemudian mengalami beberapa kali perubahan dan akhirnya paska reformasi pada tahun 2000 Bakin (Badan Kordinasi Intelijen Negara) diganti menjadi BIN (Badan Intelijen Negara) hingga saat ini.Dan dalam RUU Intelijen baru juga dimungkinkan terbentuknya lembaga baru yang menggantikan BIN, yang disebut LKIN (Lembaga Kordinasi Intelijen Negara) seperti yang diusulkan.

Terkait Intelijen, pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, serta Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto, Rabu (16/3/2011) lalu menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen ke DPR.Dan langkah ini dinilai sebagian pihak agak ganjil, karena momentumnya setelah maraknya kasus “bom paket”.

Seolah menjadi “berkah” bagi pihak pemerintah untuk segera menuntaskan program legislasi dibidang pertahanan dan keamanan negara karena adanya kasus-kasus yang dianggap erat hubunganya dengan masalah keamanan dan pertahanan nasional. Tidak cukup hanya “bom paket” tapi juga muncul “dewan revolusi Islam” yang dianggap benih-benih subversi dan kontraksi-kontrasi kehidupan sosial masyarakat lainya dimana ideologi atau agama dianggap menjadi pemicunya.

Tak pelak RUU yang di bahas oleh DPR, dan demikian juga DIM (daftar inventarisasi masalah) terhadap RUU yang disodorkan oleh pemerintah menuai banyak kritikan. Karena dianggap apa yang menjadi inisiatif DPR dan keinginan pemerintah seperti dalam DIM belum dianggap mengakomodir prinsip-prinsip performan Intelijen yang profesional tanpa mengabaikan hak-hak prinsip kemanusiaan. Dan yang lebih penting lagi adalah steril dari kepentingan politik dan bisa mencegah dari kasus “abuse of power” penyalahgunaan kekuasaan, dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa, jual-beli informasi, serta melanggar hak-hak privasi warga negara karena adanya pasal-pasal karet dan multitafsir.

Prinsip kehati-hatian tidak bisa diabaikan sama sekali, karena peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang pada umumnya langsung dapat diterapkan karena isinya lebih kongkrit dibanding UUD. Karenanya harus hati-hati dalam menyusun dan merumuskan peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan atau kebijakan yang terkait dengan kewenangan, hak dan kewajiban asasi manusia, dan penentuan sanksi hukum.

Dalam ruang demokrasi yang perlu dicatat, bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik karena ia merupakan proses politik dan produknya. Bahkan implementasi dari perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakkan hukum” atau “law enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik bahkan acapkali kepentingan politik mengintervensi sampai pada keputusan hukum.

Sehingga banyak peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak bisa menghadirkan keadilan dan tidak bisa menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum.Bahkan faktanya lebih banyak produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.

RUU Intelijen alat represif

Dari kajian Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia terhadap RUU intelijen, yang didasarkan pada referensi antara lain; Naskah Akademik (NA) yang disiapkan DPR (2010), draft RUU intelijen terbaru yang terdiri dari 46 pasal dalam X Bab, plus DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah atas RUU Intelijen Negara, ada beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat dan khususnya pihak yang memiliki otoritas merumuskan perundang-undangan Intelijen.

Pertama, dalam draft RUU definisi tentang ancaman nasional masih kabur dan multitafsir, bahkan masih terlalu luas. Ditambah lagi dengan frase “kepentingan nasional” seperti dalam pasal 1 ayat 4 dan 9 (dalam DIM) juga sangat interpretatif serta luas tidak membatasi kepada konotasi tertentu dari apa yang dimaksud kepentingan nasional. Poin pertama ini sangat urgen, karena rumusan yang tidak jelas, kabur dan tidak terukur menyangkut definisi dan hakikat dari “ancaman” memungkinkan penyalahgunaan kepentingan politik kekuasaan.

Ruang interpretatif menjadikan subyektifitas pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen akan menentukan segalanya. Bisa jadi semua pihak yang dianggap membahayakan negara hanya karena sikap kritisnya baik dengan lisan maupun tulisan terhadap kebijakan pemerintah, adalah sebagai ancaman.

Sementara di sisi lain kebebasan berserikat berkumpul dan berpendapat adalah hak asasi setiap warga negara. Sekalipun peran dan fungsi intelijen mengharuskan adanya kekhususan “toleransi” bersebrangan terhadap perkara-perkara pokok asasi manusia, justru disinilah pentingnya definisi yang memenuhi sarat kesempurnaan sebuah definisi. Karena kesalahan pendenfinisan akan beresiko di level implementasinya.

Kedua, menyangkut kewenangan penyadapan LKIN (Lembaga kordinasi Intelijen Nasional) atau dalam DIM kewenangan BIN (Badan Intelijen Negara) tertuang dalam pasal 14 dan pasal 31; diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi intelijen maka memiliki wewenang untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional.

Bahkan pada pasal 14 ayat 4 (usulan pemerintah) pihak Bank Indonesia, bank, lembaga keuangan bukan bank, lembaga jasa pengiriman uang dan lembaga analisis transkasi keuangan, wajib memberikan informasi kepada BIN. Maka rencana pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan oleh intelijen sangat berlebihan. Di negara maju operasi intersepsi alias penyadapan tetap dilakukan dengan mekanisme izin yang jelas. Misal, di Amerika, penyadapan harus mendapat izin dari Mahkamah Agung. Jadi dalam Draft RUU dan DIM pemerintah belum mengatur secara jelas dan terperinci mekanisme penyadapan (intersepsi).

Bahkan rancangan ini menolak pengaturan penyadapan melalui izin pengadilan. Tentu ini menjadi pintu lebar lahirnya penyalahgunaan kewenangan dan tindakan yang melanggar privacy warga negara. Apalagi terkait dengan kewajiban lembaga-lembaga keuangan untuk memberikan informasi kepada BIN.Tentu ini akan kontra dengan perundang-undangan terkait dengan kerahasiaan perbank-kan dan sama berpotensinya untuk munculnya “abuse of power”. Sementara itu RUU Intelijen tidak mengatur hukuman atau sanksi bagi aparat intelijen yang salah melakukan prosedur penyadapan.

RUU ini hanya menyebutkan aparat intelijen yang dengan sengaja atau lalai membocorkan informasi yang dianggap rahasia negara bisa dihukum paling lama 6 atau 4 tahun penjara.Begitu juga berlaku kepada individu atau setiap orang diancam paling lama 5 atau 3 tahun penjara, tentu ini akan mengancam insan pers dengan kebebasan pers serta kontra dengan undang-undang kerahasiaan publik. Titik krusialnya adalah, penentuan perkara apa yang diangap sebagai rahasia intelijen masih kabur dan tidak fiks memungkinkan tafsiran yang disalah artikan.

Ketiga, kewenangan menangkap dan mengintrogasi (paling lama 7x 24 jam), seperti yang tertuang dalam pasal 15 akan berpotensi lahirnya rezin intel. Sikap represif akan terulang, penculikan akan menjadi tradisi dilakukan oleh pihak intelijen hanya karena alasan demi “keamanan nasional”. Padahal ranah penangkapan dinegara-negara yang menganut asas taat hukum maka aparat penegak hukumlah yang memiliki kewenangan tersebut dan bukan fungsi intelijen.

Rancangan tersebut membuka peluang memberi kewenangan pada intelejen menangkap orang hanya karena kecurigaan atau keinginan mengorek informasi. Tanpa rambu-rambu, intelejen bisa menjadi alat berbagai kepentingan, misalnya alasan menangkap orang adalah mencegah terorisme. Kalau ini terjadi, akan kembali ke masa Kopkamtib.

Keempat, dalam Draf RUU Intelijen Negara masih belum menyertakan mekanisme koreksi. Termasuk mekanisme jaminan tidak terjadi pengulangan kesalahan dan penyelahgunaan kewenangan oleh parat intel di lapangan. Mekanisme koreksi ini penting untuk mengungkapkan segala bentuk praktik penyimpangan yang dilakukan personel intelijen.

Mekanisme ini untuk mengungkap bentuk praktik penyimpangan yang bisa dilakukan aparat intelijen diberbagai jenjang dan operasi yang menjadi tugas dan kewenangnnya. Kecenderungan “arogan” dan nyaris tanpa kontrol akan menjadi musibah dalam kehidupan sosial politik warga negara jika control ini secara transparan dan proporsional tidak ada. Dimana hak-hak warga negara akan terabaikan dan dalam kurun waktu yang panjang akan melahirkan kontraksi dan perlawanan atas rezim intel ini.

Kelima, Belum terangnya mekanisme kontrol secara permanen yang melibatkan unsur masyarakat, DPR dan Pemerintah. Karena tidak ada garansi bahwa reformasi intelijen berjalan mulus apabila tidak ada aspek control dan pengawasan terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk anggaran). Jika tidak, intelijen akan menjadi “super body” tapi sarat kepentingan politik status quo. Dalam RUU ini mengatur pengawasan DPR, tapi dalam bentuk panja. Dan Panja itu ad hoc, padahal pengawasan harus bersifat permanen.

Memang, tidak ada negara tanpa intelijen. Tapi yang perlu diingat, fungsi intelijen dengan anggaran dari APBN itu bukan untuk memusuhi warga negaranya. Intelijen juga bukan menjadi alat untuk kepentingan politik tertentu, apalagi intelijen digunakan untuk memberangus setiap pihak (individu atau kelompok) yang dianggap mengancam status quo. Masa rezim Orde Baru cukup menjadi pengalaman pahit bagi umat Islam. Umat Islam ‘dikuyo-kuyo’. Bahkan darah mereka tertumpah menjadi tumbal bagi kepentingan status quo, dengan delik bahwa umat Islam menjadi ancaman stabilitas keamanan dan politik, padahal hanya karena berbeda pandangan terhadap mainstream yang ada.

Inilah yang perlu diwaspadai. Lahirnya UU Intelijen Negara tidak boleh menjadi alat menggencet dan mengeliminasi Islam dan kaum Muslimin melalui bendera “War on terrorism” atau alasan keamanan nasional. Fakta menunjukkan, sebagian pihak tak lagi obyektif memandang persoalan terorisme di Indonesia. Ada proses generalisasi terorisme terhadap seluruh umat Islam, tidak dilihat kasus per kasus. Ini yang sangat berbahaya bagi kehidupan umat Islam ke depan.

Alih-alih pemerintah me-ngurai akar masalah dari ber-bagai problem dan konflik sosial, tapi masuk di ranah regulasi yang akan berpeluang menjadikan negara bersikap represif dan otoriter terhadap kelompok dan siapa saja yang dianggap mem-bahayakan NKRI, apalagi meng-usung penegakkan syariat Islam dalam koridor negara. Penguasa hendak mempertahankan for-mat negara sekuler-kapitalis yang liberal dengan meng-agungkan “demokrasi, pluralis-me, dan liberalisme” di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Inilah quo vadis rezim Orba.