“Saya Anak Bintang Tiga” Terjadi Di Semua Bilik Kekuasaan

eramuslim.com

By Asyari Usman

“Saya anak bintang tiga” sebenarnya terjadi di mana-mana. Di semua bilik kekuasaan. Bahkan di level yang tertinggi sekali pun. Hanya saja ‘setting’-nya berbeda dan bahasanya juga lain. Tidak langsung dikatakan “Saya anak Panglima Tertinggi”, misalnya. Tapi, itu terjadi. Sering tanpa ucapan atau intsruksi. Singkatnya, “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan) itu terjadi meluas.

Jalan mulus yang disediakan di pilkada untuk para calon VVIP adalah bentuk “Saya anak bintang tiga” seperti yang diucapkan oleh seorang wanita ‘hebat’ kepada anggota DPR PDIP, Arteria Dahlan, dalam insiden di Bandara Soekarno-Hatta beberapa hari lalu.

Ada beberapa orang yang ikut pilkada dan bisa menang mudah. Diduga kuat para calon VVIP itu dibantu penuh oleh para pejabat pemerintah setempat. Ini jelas “Saya anak bintang tiga” versi lain. Ini jelas penyalahgunaan kekuasaan. Berlangsung di seluruh pelosok dan sektor.

Ada menteri yang terkait dengan pertambangan batubara. Ada juga yang terkait dengan bisnis PCR. Bukankah ini “abuse of power”?

Arteria sudah benar menuntut agar Panglima TNI dan KSAD membenahi “abuse of power” protokol TNI oleh wanita yang memaki-maki ibu anggota DPR yang sarat dengan kontroversi itu. Tetapi, Arteria sebaiknya melakukan gerakan berantas penyalahgunaan kekuasaan dengan lebih luas lagi. Termasuk di lingkungan DPR sendiri.

Di DPR banyak “abuse of power”. Ketuanya, Puan Maharani, juga melakukan itu. Dia mematikan mik anggota dewan yang ingin menggunakan hak berkomentar. Puan bertindak otoriter. Puan menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak jauh beda dengan perempuan anak bintang tiga itu.

Begitu juga pengesahan UU Omnibus Law dan revisi UU yang membuat KPK menjadi lemah dan tebang pilih. Ini semua terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan. Yang dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah dan DPR.