Sedih dan Malu, Garuda Indonesia Akan Hembuskan Napas Terakhir

Sewaktu “masih sehat” pun Garuda memang selalu dirundung problem. Intinya adalah salah kelola (mismanagement). Garuda dijadikan sapi perahan. Dijadikan tempat menitipkan anak-keponakan orang-orang yang punya kuasa. Dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan pribadi oleh silih berganti direksinya.

Saya pernah mendengar cerita dari seorang mantan pejabat senior Garuda tentang “fee” belasan juta dollar dalam proses pengadaan pesawat. Itu terjadi pada awal pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada Mei 2020, Emirsyah Satar (Dirut Garuda 2005 s/d 2014) dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Dia dikenai denda USD 1,4 juta karena tuduhan suap dan pencucian uang (money laundring) terkait pembelian pesawat dari Airbus dan mesin dari Rolls-Royce.

Ada catatan korupsi besar lainnya. Pada 2005, Sekarga (Serikat Karyawan Garuda) pernah membeberkan indikasi korupsi dalam pengadaan pesawat Boeing 737-800 yang merugikan negara sebesar US$28.5 juta atau hampir Rp400 miliar.

Singkatnya, Garuda menjadi tempat korupsi berjemaah. Garuda juga dijadikan tempat kolusi dan nepotisme.

Pagi ini saya membaca surat terbuka tentang Dirut Garuda, Irfan Setiaputra, yang diduga kuat menggunakan fasilitas perusahaan ketika membawa keluarganya berliburan belum lama ini. Dia membawa anak, menantu dan dua cucu. Disebutkan pula bahwa tiket untuk empat anggota keluarga Irfan dinaikkan (di-upgrade) dari kelas ekonomi ke kelas bisnis tanpa biaya.

Irfan memanfaatkan undangan pertemuan tahunan IATA (International Air Transport Association) di Boston, Amerika Serikat, 3-5 Oktober 2021. Tetapi, dia absen dari Indonesia sejak 1 Oktober sampai 16 Oktober.