Tamsil Linrung: Ugal-ugalan Ibukota Baru

Oleh: Tamsil Linrung *)

Pindah Ibukota Negara (IKN) itu biasa. Tidak sedikit negara di dunia melakukannya. Yang tidak biasa adalah ngotot, memaksakan kehendak tanpa melihat urgensi dan momentumnya. Inilah sebenarnya sumber persoalan kita. Ketika APBN masih defisit, ekonomi belum stabil, dan Covid-19 masih mengancam, kebijakan memindahkan Ibukota terasa tidak relevan.

Rakyat berhak curiga. Apalagi, memori kolektif mereka mencatat sejumlah pembangunan infrastruktur yang mengecewakan. Ada yang tidak efektif, ada yang tidak tepat sasaran, dan ada pula yang terancam mangkrak. Celakanya, sebagian dari duit pembangunan itu diperoleh dengan cara hutang. Sudah hutangnya menumpuk, eh, infrastruktur yang dihasilkan tidak maksimal.

Pemerintah seharusnya sensitif, menjawab kecurigaan rakyat dengan penjelasan komprehensif. Bukan justru ugal-ugalan mengetok palu bersama DPR. DPD memang menjadi bagian dari keputusan tersebut. Namun, DPD memberi catatan kritis dan telah disampaikan secara terbuka dalam beberapa tulisan dan pemberitaan.

Pemindahan IKN adalah pekerjaan besar, masif, dan multi kompleks sehingga memerlukan perencanaan yang matang. Ini bukan saja tentang membangun kawasan tetapi juga membangun peradaban. Peluangnya besar, tapi itu sebanding dengan risikonya. Bila tak direncanakan dan dikelola dengan baik, risiko dipastikan akan lebih dominan ketimbang peluangnya.

Paceklik ekonomi membuat potensi risiko itu membesar. Tak percaya? Tengok situasi berikut. Aset ibukota lama nyatanya akan dioptimalkan pemerintah sebagai salah satu sumber merogoh cuan, demi menyuplai . Caranya beragam. Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Encep Sudarwan memberi sinyal, “aset DKI Jakarta tidak selalu dijual, namun juga dapat dikerjasamakan dengan pemberian waktu 30 tahun atau beberapa tahun, dan duitnya digunakan di IKN.” (katadata.com).

Proses pengalihan aset tentu rawan karena membuka celah korupsi. Apalagi, nilai aset DKI Jakarta begitu besar dan entah berapa yang akan dialihkan.  Kementerian Keuangan mencatat, dari total aset negara sebesar Rp 11.098 triliun, sebanyak Rp 1.000 triliun di antaranya berada di Jakarta. Ini berbahaya. Apalagi, kita punya sejarah korupsi yang bikin bulu kuduk berdiri. Ya, bahkan dana bantuan sosial bagi rakyat miskin saja ditilap oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, salah satu dari 7 menteri terbaik Jokowi menurut survei Charta Politika.