Tamsil Linrung: Ugal-ugalan Ibukota Baru

Dulu, Presiden Jokowi mengatakan pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN. Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI 4 Februari 2020 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, dari Rp 466 triliun total dana pembanguna n IKN, sebanyak Rp89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi. Pemerintah mengakui skema IKN Nusantara akan lebih banyak mengeruk APBN, yakni sebesar 53,3 persen dari total dana. Lalu apa jaminannya pernyataan-pernyataan ini tidak berubah lagi?

Janji yang terpungkiri ini mengingatkan kita pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Janji yang terpungkiri seolah menjadi salah satu khas Jokowi selama memimpin. Terhadap perubahan sumber dana IKN, media massa menyebut Presiden Jokowi meralat janjinya. Lalu apa bahasa sederhana meralat janji?

Ironisnya, sumber dana buat menambal biaya pembangunan IKN Nusantara salah satunya dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi, sebesar 178 triliun. Ini jelas keterlaluan. Bagaimana mungkin dana penanggulangan kondisi darurat pandemi Covid-19 digunakan untuk pendanaan lain diluar peruntukannya?

RUU APBN 2022 telah diketok pada November 2021 lalu. Kita tahu, untuk merubah alokasi anggaran proyek nasional diperlukan mekanisme APBN Perubahan. Pengumuman penggunaan APBN tanpa melalui APBN Perubahan adalah contoh etika pengelolaan keuangan negara yang tidak elok. Boleh jadi situasi ini menjadi persoalan hukum.

Yang aneh, latar belakang pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara tidak ditemukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Padahal, sangat penting bagi pemerintah mengungkap dan membahasnya, sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih.

Akibatnya, spekulasi tak bisa dihindarkan, seiring beredarnya data-data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256 ribu hektar lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki oleh hanya segelintir elit Jakarta. Meski bentuknya HGU dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu bila negara ingin mengambilnya kembali.