TIGA DOSA TITO

by M Rizal Fadillah

Tito disini adalah Tito Karnavian mantan Kapolri 2016-2019 yang sejak 2019 menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kini akan banyak Kepala Daerah yang habis masa jabatannya, maka banyak pula penjabat atau pejabat sementara baik itu Gubernur maupun Bupati/Walikota. Peran Mendagri sangat penting dalam menentukan dan mengisi formasi untuk penjabat tersebut.

Jenderal (Purn) Tito Karnavian mencuat namanya dihubungkan dengan kasus terbunuhnya Brigadir J yang berkaitan dengan status tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo yang di samping Kadiv Propam juga sebagai Kepala Satgassus sebuah lembaga nonstruktural yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Bacaan itu adalah tentang tiga dosa politik Pak Jenderal, yaitu :

Pertama, pembentukan Satgassus Merah Putih yang ternyata menjadi semacam lembaga kerja mafia di tubuh Polri. Apakah kondisi saat ini adalah penyimpangan dari misi awal atau memang sejak pembentukan ditujukan untuk pekerjaan yang remang-remang bahkan hitam ? Faktanya kini Satgassus telah sukses menciptakan “monster” yang ahli rekayasa alias sandiwara dan jago dalam menebar kekerasan di lingkungan maupun di luar Kepolisian.

Kedua, membangun konsepsi “Democratic Policing” dengan maksud Polisi yang berperan aktif dalam kehidupan demokrasi termasuk melakukan demokratisasi. Dalam prakteknya Polisi justru berperan dan merambah kemana-mana. Akibatnya civil society dan demokrasi menjadi terancam. Polisi sebagai “gurdian of the state” menjadi kekuatan pemaksa yang “out of the order”. Ia dominan mengatur diri dan orang lain. TNI pun ikut tersisihkan.

Ketiga, melakukan pelanggaran HAM atas tewas sekurangnya 9 pengunjuk rasa di depan Bawaslu tanggal 21-22 Mei 2019. Sebelumnya pihak Kepolisian juga tidak melakukan pengusutan atas tewasnya 894 petugas Pemilu dan 5-11 ribu petugas mengalami sakit. Kejanggalan ini harus diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia dengan alasan petugas meninggal karena “kelelahan”. Betapa enteng memperlakukan nyawa manusia.

Esok Pak Tito bersama Presiden akan menjadi penentu dalam menunjuk penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa proses pemilihan demokratis. Kedaulatan rakyat tercerabut dari akarnya dengan alasan “sementara” saja hingga 2024. 101 Kepala Daerah habis tahun 2022 dan 170 Kepala Daerah tahun 2023.