Aktivis Brasil Mulai Mogok Makan Setelah Penahanan di Kapal “Madleen” Kemanusiaan Menuju Gaza


Eramuslim.com – Thiago Avila, seorang aktivis asal Brasil yang ditahan di kapal bantuan kemanusiaan Madleen saat berlayar menuju Gaza, dilaporkan memulai aksi mogok makan dan minum. Informasi ini disampaikan oleh organisasi HAM Israel dan pusat hukum Adalah pada hari Selasa. Di hari yang sama, empat aktivis—termasuk Greta Thunberg dari Swedia—telah dideportasi dari Israel. Sementara itu, delapan aktivis lainnya yang menolak menandatangani dokumen deportasi masih ditahan di Penjara Givon, Ramla.

Adalah melaporkan bahwa kedelapan aktivis tersebut dihadapkan pada sidang di pengadilan Ramla, menyusul perintah deportasi dari Kementerian Dalam Negeri Israel.

Dalam sidang berdurasi lima jam, tim hukum Adalah—yang terdiri dari pengacara Hadeel Abu Saleh, Lubna Toma, dan relawan Afnan Khalifa—menyatakan bahwa penangkapan kapal Madleen, bagian dari Koalisi Armada Kebebasan yang bertujuan menembus blokade Gaza, merupakan pelanggaran hukum internasional.

Para pengacara menegaskan bahwa para aktivis itu ditarik secara paksa dari perairan internasional dan kemudian diklasifikasikan secara sepihak sebagai “penyusup ilegal” oleh Israel, tanpa dasar hukum yang sah.

Adalah juga mengutuk blokade Israel atas Gaza sebagai bentuk hukuman kolektif yang melanggar hukum internasional, karena membatasi pasokan bantuan hingga membuat penduduk sipil terancam kelaparan. Hal ini juga dianggap bertentangan dengan langkah sementara yang telah ditetapkan Mahkamah Internasional dalam kasus dugaan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel.

Tim hukum menuntut agar para aktivis dibebaskan segera tanpa syarat dan dikembalikan ke kapal mereka, Madleen, agar bisa melanjutkan misi kemanusiaan ke Gaza sebelum kembali ke negara asal masing-masing.

Menurut Adalah, Israel tidak memiliki kewenangan hukum atas penahanan tersebut karena insiden terjadi di wilayah perairan internasional. Oleh karena itu, baik penahanan maupun perintah deportasi dianggap ilegal.

Para aktivis juga menyatakan bahwa mereka telah “diculik” dan dibawa secara paksa ke Israel, dan menegaskan bahwa tujuan mereka hanyalah mengirimkan bantuan ke Gaza dan menentang pengepungan Israel. Mereka juga mengeluhkan kondisi buruk selama penahanan, seperti tempat tidur yang dipenuhi kutu busuk dan air keran yang tidak layak minum.

Pihak berwenang Israel mengajukan permintaan ke pengadilan agar para aktivis tetap ditahan hingga proses deportasi dilakukan, merujuk pada Undang-Undang Masuk Israel yang memperbolehkan penahanan maksimal 72 jam bagi individu yang menolak meninggalkan Israel secara sukarela.

Adalah kembali menyerukan agar para aktivis dibebaskan dan dipulangkan segera, sembari menantikan keputusan pengadilan yang diharapkan keluar dalam waktu dekat.

Sejak Oktober 2023, Israel terus melancarkan serangan militer besar-besaran ke Gaza, menewaskan hampir 55.000 warga Palestina—sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Pada November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas agresinya di Jalur Gaza.

Sumber: Anadolu Agency

Beri Komentar