Israel Punya ‘Daftar Target’ Hamas — Akankah Pejabat Hamas di Qatar Jadi Sasaran?

Eramuslim.com – Israel meningkatkan ancamannya untuk menargetkan para pemimpin Hamas di luar negeri, tepat saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pekan depan.

Ancaman-ancaman ini—bersamaan dengan kunjungan Netanyahu—memicu spekulasi bahwa Israel mungkin akan membidik pejabat senior Hamas di Gaza, Aljazair, Lebanon, dan bahkan Qatar, di tengah tekanan AS untuk mencapai gencatan senjata baru di Jalur Gaza.

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bulan lalu mengancam akan membunuh anggota biro politik senior Hamas, Khalil al-Hayya, yang berbasis di Doha, Qatar. Ia juga menyatakan bahwa Israel akan menargetkan Izz al-Din al-Haddad, komandan sayap militer Hamas yang berbasis di Gaza.

Situs berita Israel, Maariv, melaporkan pada bulan Juni bahwa Israel memiliki “daftar sasaran” Hamas yang mencakup Hayya, Osama Hamdan (mantan juru bicara Hamas di Lebanon), dan Sami Abu Zuhri (perwakilan Hamas di Aljazair). Sayap politik dan militer Hamas memang terstruktur sebagai entitas yang terpisah. Kepemimpinan politik Hamas sebelumnya berbasis di Damaskus, Suriah, hingga tahun 2012, sebelum akhirnya berpindah akibat konflik dengan pemerintah Suriah.

Qatar menyetujui untuk menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Hamas yang diasingkan berdasarkan permintaan dari mantan Presiden AS Barack Obama pada tahun 2011.

Hamas juga sempat memiliki kantor di Kairo, Mesir, meskipun tidak jelas apakah kantor tersebut masih beroperasi setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel selatan. Para pejabat politik Hamas juga diketahui sering menghabiskan waktu di Turki, tetapi belum jelas apakah mereka memiliki kantor resmi di sana.

Pada hari Kamis, surat kabar The Times melaporkan bahwa pejabat Qatar telah memerintahkan para pejabat Hamas, termasuk Hayya, untuk menyerahkan senjata pribadi mereka. Pejabat senior lainnya yang diperintahkan menyerahkan senjata adalah Muhammad Ismail Darwish (ketua Dewan Syura Hamas) dan Zaher Jabareen (anggota biro politik Hamas). Middle East Eye tidak dapat memverifikasi laporan ini secara independen.

Qatar: Sekutu Penting AS

Jika Israel benar-benar melaksanakan rencana Katz untuk membunuh Hayya di Qatar, hal itu akan menjadi eskalasi besar dalam kampanye Israel terhadap Hamas.

Sebelumnya, Israel biasanya hanya menargetkan pejabat Hamas di Jalur Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Iran, dan Lebanon.

Setelah pecahnya perang di Gaza, salah satu serangan luar negeri pertama Israel adalah pembunuhan Saleh al-Arouri, pemimpin senior Hamas dan pendiri sayap militer Brigade al-Qassam di Beirut.

Namun, menyerang anggota Hamas di Qatar—sekutu utama AS di kawasan dan lokasi markas Komando Pusat AS (CENTCOM) di Al-Udeid—dapat memunculkan tantangan besar. Pangkalan Al-Udeid baru-baru ini menjadi sasaran Iran sebagai respons terhadap serangan AS terhadap situs nuklir Iran yang mendukung serangan mendadak Israel terhadap Republik Islam tersebut.

Pejabat AS dan Iran dilaporkan berkoordinasi secara tidak langsung sebelum serangan, dengan Qatar sebagai perantara. AS memindahkan pesawat dan peralatan berat dari Al-Udeid ke beberapa lokasi di Arab Saudi.

Sepanjang perang, Qatar dan Mesir telah menjadi mediator utama AS. Meskipun begitu, pemerintahan Trump sempat memutus tradisi diplomatik dengan bernegosiasi langsung dengan Hamas—yang dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh Washington—demi membebaskan seorang warga negara ganda AS-Israel.

Jejak Panjang Pembunuhan Israel

Netanyahu memiliki sejarah melakukan pembunuhan saat sedang berada di AS, seolah menikmati simbolisme kekuatan panjang militer Israel.

Israel membunuh pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, pada September 2024, tak lama setelah Netanyahu berpidato di Sidang Umum PBB. Kantor Netanyahu segera merilis foto dirinya sedang memimpin operasi dari kantor sederhana di New York.

Mantan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh di Teheran seminggu setelah Netanyahu berpidato di hadapan Kongres AS pada Juli 2024.

Sejak perang meletus, Israel telah membunuh puluhan pejabat senior Hamas di Gaza. Komandan militer Hamas merupakan target bernilai tinggi. Israel mengklaim telah membunuh Muhammad Sinwar, pendahulu Haddad, pada Mei lalu.

Yahya Sinwar, saudara Muhammad, menjadi target paling dicari Israel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Israel membunuh banyak anak buah Yahya dan melakukan pencarian selama lebih dari satu tahun. Dengan bantuan intelijen AS, Yahya akhirnya ditemukan dan dibunuh dalam baku tembak di Rafah pada Oktober 2024 setelah pasukan Israel secara tidak sengaja menemukannya.

‘Rintangan Besar’ Masih Mengadang

Jika Israel benar-benar melanjutkan rencana pembunuhan pejabat Hamas, hal ini akan terjadi di tengah dorongan baru menuju gencatan senjata di Gaza. Trump menyatakan pekan ini bahwa Israel telah menyetujui gencatan senjata 60 hari di Gaza.

Hamas masih mempertimbangkan apakah akan menerima proposal tersebut. Namun, Channel 14 Israel melaporkan bahwa ada “surat sampingan rahasia” dari AS yang memberi Israel izin untuk melanjutkan perang setelahnya.

Masih belum jelas apakah Israel benar-benar memerlukan persetujuan tertulis. Gencatan senjata sempat dicapai pada Januari 2025, tetapi gagal pada Maret ketika Israel kembali menyerang Gaza secara sepihak.

Sementara itu, kepada The Times of Israel, dua diplomat Arab menyatakan bahwa masih ada “hambatan besar” yang belum terselesaikan terkait gencatan senjata, terutama seputar sistem distribusi bantuan baru AS-Israel yang dijalankan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF). Hamas menuntut kembalinya mekanisme distribusi bantuan yang sebelumnya dijalankan oleh PBB.

GHF, yang mulai beroperasi akhir Mei setelah blokade total Gaza selama tiga bulan oleh pasukan Israel, menuai kritik tajam. Lebih dari 580 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.200 terluka oleh tentara Israel saat mencoba mengakses bantuan makanan dan pasokan.

Kekhawatiran Hamas ini digaungkan oleh organisasi internasional. Pada hari Selasa, lebih dari 170 LSM secara bersama menyerukan penghentian sistem GHF yang mereka sebut sebagai “mematikan”, dan mendesak kembali ke koordinasi bantuan yang dipimpin PBB.

Lebih dari 56.000 warga Palestina telah tewas di Gaza sejak dimulainya perang.

Sumber: Middle East Eye

Beri Komentar