Palestina: Penerus Netanyahu Lebih Haus Darah dan Lebih Radikal

Bagi banyak orang penjajah Israel, koalisi baru tersebut adalah alasan untuk merayakannya. Tapi bagi orang Palestina itu tidak banyak berubah. Dimitri Diliani, seorang anggota Garda Revolusi Fatah, mengatakan bahwa orang-orang Palestina memiliki sedikit harapan dari pemerintah jajahan Zionis Israel yang akan datang.

“Koalisi itu muncul sebagai hasil perjuangan antara dua kubu sayap kanan. Itu bukan perjuangan antara kelompok pro dan anti-perdamaian. Jadi bagi kami, mengganti satu pemerintahan rasis dengan yang lain tidak membuat banyak perbedaan. Meskipun kami mungkin senang melihat Netanyahu hengkang, kami tidak akan menyambut Bennett,” katanya, seperti dikutip Sputniknews, Jumat (4/6/2021).

Keengganan untuk menerima Bennett dapat dimengerti. Platform politik Partai Yamina selalu menyarankan bahwa Yerusalem, yang disengketakan oleh orang-orang Yahudi dan Arab, akan menjadi milik Israel saja, tanpa pilihan untuk memisahkan kota itu.

Partai itu juga selalu berbicara menentang pembebasan tahanan Palestina yang dituduh melakukan kegiatan teror.

Partai Yamina telah bersumpah untuk melanjutkan pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat, yang dianggap sebagai tanah Yahudi oleh basis hawkish-nya, dan pada 2020 menolak rencana mantan Presiden AS Donald Trump yang ingin membagi wilayah antara Israel dan Palestina.

Jika sudah menduduki kantor Perdana Menteri Israel, Bennett tidak mungkin untuk memutar balik kebijakannya itu, terutama karena basis hawkish-nya tidak akan membiarkan dia mengambil rute itu.

Dia juga tidak diharapkan untuk berusaha mengakhiri konflik Israel-Palestina atau bekerja menuju solusi dua negara.

“Sama seperti Netanyahu, Bennett mewakili segala sesuatu yang anti-perdamaian. Inilah mengapa saya ragu apakah dia akan bekerja untuk mencapai tujuan itu. Dan jika dia didorong ke dinding, dia akan menarik diri dari pemerintahan itu dan menyerukan pemilu,” ujar Diliani.

Diliani bukan satu-satunya orang yang berpikiran seperti itu. Media Israel dan analis politik juga telah memperingatkan bahwa koalisi—yang hanya bersatu dalam keinginannya untuk menggulingkan Netanyahu—tidak mungkin bertahan lama.

Juga tidak ada peluang ketika tiga partai dari blok tujuh anggota bersikap hawkish, dua berhaluan kiri dan dua lainnya berada di tengah.

Menurut Diliani, meskipun Yair Lapid yang liberal dan partai Yesh Atid-nya mungkin dapat menjembatani kesenjangan antara kedua pihak yang berseberangan, kemungkinan mereka akan tetap bertahan sangat kecil.

“Saya tidak melihat bagaimana pemerintah ini akan dapat bertahan. Bennett ingin menyenangkan para pendukung pemukimnya. Mansour Abbas [pemimpin Raam, sebuah partai Islam yang bergabung dengan koalisi] ingin menyenangkan orang-orang Palestina. Keduanya tidak bercampur dengan baik—seperti minyak dan air. Dan itu berarti bahwa pemerintah akan jatuh dan Yair Lapid [yang liberal] tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi PM Israel,” paparnya.

Namun, bahkan jika dia melakukannya, masa jabatan Bennett menjanjikan sejumlah tantangan bagi Palestina, terutama ketika menyangkut permukiman ilegal Yahudi Israel. Diliani mengatakan masa depan menjanjikan banyak turbulensi dan ketidakpastian.

“Kami khawatir akan ada percepatan aktivitas pemukiman ilegal Israel. Akan ada lebih banyak sesak napas di Tepi Barat dan mungkin petualangan kriminal dan tidak diperhitungkan lainnya ke Gaza. Bennett haus darah dan rasis dan basisnya bahkan lebih radikal daripada Netanyahu,” ujarnya.[em/sindonews]