Menyambangi Pesantren di Seberang Citarum

Ups! Darmawan Setiadi salah sangka. Manager Program PPPA Daarul Qur’an ini mengira pondok panggung yang terbuat dari bambu dan kayu itu, kandang ternak. Ternyata kamar para santri Ponpes Nurul Huda di Desa Teluk Bango, Kecamatan Batu Jaya, Karawang, Jawa Barat.

“Di sinilah mereka tidur,” ujar Ustadz Oma Ghozali, pimpinan Pesantren Nurul Huda, sambil menujuk salah satu ruang di pondok berukuran 2 x 3 meter. ‘’Isinya 4 atau 5 santri,’’ imbuh Ustadz Ghozali.

Meski kondisinya sangat memprihatinkan, Pesantren ini luar biasa. Jumlah santrinya mencapai 358 orang. Merekalah generasi belia Desa Teluk Bango yang diharapkan bakal menjadi generasi yang lebih baik.

Pesantren Nurul Huda terletak di ujung Kota Karawang, sekitar 45 km dari pusat kota setelah melewati Rengas Dengklok.

Berangkat dari Tangerang selepas dzhuhur Rabu (26/8), Tim PPPA Daqu tiba di Nurul Huda lewat waktu ashar. ‘’Bukan ngepas-pasin waktu buka puasa, lho,’’ canda Darmawan. Tapi memang perjalanan jauh dan menempuh medan yang rusak berat memasuki lokasi. Tak ayal, badan pegal-pegal dan perut terganjal mual-mual menaiki mobil yang terayun-ayun bagai perahu melalui jalan hancur.

Tapi, semua derita perjalanan itu sirna oleh penyambutan shahibul bayt yang luar biasa meriah dan tulus. Begitu mobil PPPA Daqu berhenti di halaman pesantren, ratusan santri langsung menyerbu dan menyalami rombongan tamu.

Ustadz Oma Ghozali menuturkan, Pondok Pesantren Nurul Huda dirintis sejak 1995 di tengah budaya masyarakat yang masih kental dengan animisme. ‘’Mulanya, kami coba mengajak warga mengkaji agama melalui majlis ta’lim. Alhamdulillah, lama-lama warga sadar dan ingin agar anak-anak mereka menjadi generasi soleh. Maka kami dirikan pesantren ini secara swadaya.’’

Dulu, kata Ustadz Ghozali, di Desa Teluk Bango banyak sekali dukun. ‘’Dukun jadi profesi, karena laris,’’ ujarnya sambil tersenyum. Dia sendiri, lantaran cerewet pada praktik perdukunan, pernah mendapat serangan termasuk lewat kekuatan magic. ‘’Alhamdulillah, kekuatan ilmu hitam tak mempan pada ilmu putih,’’ ungkap Ustadz.

Kini, praktik perdukunan berangsur pudar. Di Teluk Bango tinggal beberapa orang saja yang masih ‘’buka praktik’’. Ini tak lepas dari dakwah Ustadz Oma Ghozali lewat majelis taklim dan pesantren.

Dalam sambutannya Darmawan mengatakan, kunjungan PPPA Daqu selain membuka tali silaturahim juga menyampaikan sumbangan yang diamanahkan para donatur.

‘’Insya Allah tidak hanya berupa dana dan mushaf Al Qur’an yang kami bawa sekarang, tapi juga program-program lain untuk mengembangkan pesantren Nurul Huda,’’ papar Darmawan.

Program tersebut misalnya beasiswa santri penghafal Qur’an, tunjangan guru, dan perpustakaan Santri Gemar Membaca.

”Makanya, santri-santri di sini harus menyiapkan diri, baik yang masih SD maupun SMP dan SMA, agar kelak bisa bergabung dengan Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an dan STMIK Antar Bangsa melalui jalur beasiswa,’’ Darmawan menyemangati.

Pungkasannya, Darmawan berharap agar Karawang dikembalikan jatidirinya sebagai kota perjuangan para santri. Bukan seperti sekarang ini, kota dengan banyak pesantren tapi lebih dikenal dengan ‘’goyang Karawang’’-nya yang berkonotasi negatif.

Jelang magrib, Tim PPPA Daqu pamit pulang. ‘’Lewat Bekasi saja,’’ jawab Ustadz, ketika Darmawan minta saran jalur alternatif menuju Jakarta yang lebih dekat.

Yamin, driver mobil PPPA Daqu, mengikuti jalur yang disarankan Ustadz. Namun ia shock ketika jalan bebatuan yang mereka tempuh berujung di bentangan Sungai Citarum. Ternyata perjalanan harus dilanjutkan dengan menumpang perahu. ‘’Maksud loh, kita nyebur?’’ kelakar Yamin sambil memasukkan mobil ke perahu penyeberangan.

Selepas menyeberangi Citarum, sensasi gelombang sungai masih harus dirasakan. Sebab, selanjutnya mobil dipaksa mengarungi jalan makadam sepanjang puluhan kilometer. Ikhlas, ikhlas…. (fian/aya hasna)