Naik Shinkansen Dakwah Keliling Jepang (3)

Untuk mengejar dakwah di beberapa kota seperti Nagoya, Kobe, Okayama dan wilayah Hiroshima dengan jadwal yang ketat, kereta api yang konon tercepat di dunia, Shinkansen, sangat berguna.

Siapa yang tidak kenal dengan ketenaran kereta api peluru (bullet train). Orang Jepang menyebutnya Shinkansen. Memang bentuknya seperti peluru. Kecepatan maksimalnya bisa mencapai 500 km per jam.

Dengan kecepatan kereta seperti itu, dipikir-pikir berarti jarak Jakarta Yogya yang biasanya ditempuh Taksaka 8 jam, bisa menjadi hanya 1 jam saja. Kapan Indonesia punya kereta jago ngebut seperti itu?

Karena liburan Golden Week memang tidak lama, hanya lima hari saja sementara panitia pelaksana acara kebanjiran permintaan dari kota-kota di wilayah Timur dan Barat Jepang untuk bisa menghadirkan kami, maka Shinkansen menjadi pilihan. Karena selain lebih cepat, tepat waktu, juga tidak perlu banyak aturan seperti kalau naik pesawat. Kalau naik pesawat, pasti harus melewati pemeriksaan ini dan itu, belum lagi kalau ada delay dan dan lainnya. Naik pesawat justru malah tidak bisa cepat dan dinamis.

Padahal yang dibutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu. priotitas dijalankan. Akhirnya diputuskan bahwa kami Shinkansen unutk mendatangi kota-kota di wilayah Timur Jepang, seperti Nagoya, Kobe, Okayama dan Hiroshima.

Ujung akhir kota adalah Horishima yang berjarak sampai 14 jam perjalanan kalau pakai kereta api biasa. Namun panitia menunjuk Shinkansen (bullet train) sebagai kendaraan yang kami tumpangi, karena lebih cepat dan tepat waktu.

Shinkansen: The Bullet Train

Sebenarnya Shinkansen masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis. Yang paling cepat adalah Nozomi, karena itu Shinkansen jenis inilah yang kami tumpangi. Kecepatannya kurang lebih 450 kilometer per jam. Hanya berhenti di stasiun besar dan tidak berhenti di stasiun kecil.

Sedangkan yang paling rendah, kecepatannya sekitar 270 kilometer per jam, dan banyak berhenti di stasiun kecil.

Keberadaan Shinkansen Sukses telah mengalahkan Perancis yang memproduksi kereta api Train a Grande Vitesse (TGV). Namun kalah dengan Shinkansen, karena kecepatannya hanya 300 kilometer per jam.

Kereta api ini dilengkapi suspensi yang dikendalikan dengan komputer. Bagian bawah gerbong pun dibuat sejajar penuh untuk menghindari suara.
Bagian dalamnya terkesan mewah dan nyaman. Itu sebabnya setiap orang yang datang ke Jepang tanpa menaiki Shinkansen rasanya perjalanan ke Negeri Sakura tersebut belum lengkap. Terbukti, banyak wisatawan asing yang datang ke negeri itu dengan salah satu tujuan ingin menikmati kenyamanan "sang peluru" itu.

Pada 2003, JR Central melaporkan jadwal waktu rata-rata Shinkansen tepat dalam 0, 1 menit atau 6 detik dari waktu yang telah dijadwalkan. Ini termasuk seluruh kesalahan alami dan manusia dan dihitung dari seluruh 160.000 perjalanan yang dijalani oleh Shinkansen. Rekor sebelumnya dari 1997 dan tercatat 0, 3 menit atau 18 detik.

Kecepatan Tinggi Tapi Aman

Menurut catatan, nyaris tidak ada daftar kecelakaan fatal dalam pengoperasian Shinkansen selama ini, meski kecepatannya hampir menyaingi psawat terbang.

Memang ada beberapa orang terluka dan satu kefatalan dikarenakan pintu yang menjepit penumpang atau barang mereka. Dan orang Jepang yang doyan bunuh diri itu, beberapa kali mau melakukan percobaan bunuh diri.

Untuk itu beberapa stasiun telah memasang pagar pelindung. Meskipun begitu tetap saja ada percobaan bunuh diri oleh penumpang yang memanjat pagar pengaman tersebut.

Dilepas Naik Shinkansen Sendirian

Yang jadi masalah tapi sekaligus menantang juga, ternyata panitia melepas kami sendirian naik Shinkansen. Padahal ini adalah kali pertama kami mendarat di Jepang. Memang kami diantar hingga pintu Shinkansen, tapi mereka tidak ikut naik, hanya melepas.

Bayangkan, sendirian di dalam benda yang meluncur cepat di tengah orang Jepag. Semua tidak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Sementara semua huruf yang tertulis di tiket adalah huru kanji. Bahkan tulisan di stasiun semuanya huruf kanji juga. Kalau ada huruf latin, jarang-jarang munculnya. Dalam hati, kami berpikir jangan-jangan orang Jepang itu nilai bahasa Inggris di raport merah semua. Habis, satu pun tidak ada yang bisa bahasa Inggris.

Melihat kenyatan itu, muncul kebimbangan, lalu nanti turunnya di mana. Memang bikin panik juga, setidaknya di awal-awal. Tapi demi ‘gengsi’ dengan panitia, kami tampil pede saja.Sebelum naik, mereka serahkan tiga lembar kertas yang berisi jadwal acara, daftar kota yang harus didatangi, nama-nama stasiun yang harus turun, serta dilengkapi dengan jam berhenti, plus nama dan nomor hp panitia lokal yang akan menjemput. Wah, jadi seru, kayak film detektif.

Hebatnya, Shinkansen tak pernah ingkar janji. Kalau di tiket tertulis tiba di suatu kota jam 21.03, ya berarti tepat pada jam, menit dan detik itu, kereta akan tepat berhenti di Staiun yang dimaksud. Dan pas di pintu gerbong di mana Shinkansen berhenti, sudah berdiri panitia lokal yang menjemput. Ternyata untuk mengenali mereka gampang saja. Yang pasti mereka orang Indonesia, cirinya: agak kecil, pakai baju koko, kulit coklat kehitaman, jenggot seadanya dan ciri khas lainnya yang sudah akrab.

Dan mereka mengenali kami juga gampang, tinggal lihat orang yang pakai peci haji. Benar juga, mungkin satu-satunya orang yang pakai peci haji di Shinkansen cuma kami.

Satu hal yang sangat membesarkan hati, ternyata panitia lokal itu sangat bersemangat menjemput dan mendengarkan ceramah kami. Padahal mereka bukan orang sembarang, rata-rata para kandidat doktor. Ada yang ahli nuklir, ahli kimia, ahli komputer, ahli fisika, ahli metalurgi dan lainnya.

Mereka adalah para mahasiswa cerdas harapan bangsa, yang karena ketekunannya, mendapat beasiswa dan tinggal di Jepang. Kebanyakan mereka tinggal bersama isteri dan anak. Mas Romi Satria Wahono yang doktor komputer dan punya situs www.ilmukomputer.com itu juga dulu lulusan dari Tokyo. Dan menurut beliau, dulu dirinya yang jadi panitia kalau ada acara seperti ini.

Melihat semangat mereka menyambut dan melayani kami, semangat kami pun ikut menyala. Meski badan penat tidak karuan, tapi semangat beragama mereka ikut menyalakan semangat kami juga.

Apa Kabar Kereta Api Indonesia?

Pengalaman naik Shinkansen yang sangat cepat itu, jadi terbayang dengan kereta api di negeri sendiri. Dan akhirnya kita memang masih harus mengelus dada. Kereta di negeri kita harus diakui masih mengalami kendala di sana-sini. Kalau di Jepang, Shinkansen bisa lari cepat tepat waktu tapi aman, sedangkan di negeri kita, keretanya sering terlambat plus tidak aman alias sering terjadi kecelakaan.

Sebenarnya Shinkansen tidak terlepas dari kecermatan pengelola perusahaan KA dan industri KA di Jepang dalam membaca kebutuhan masyarakat. Fenomena yang timbul, yakni mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, otomatis menuntut kualitas dan kecepatan pelayanan jasa angkutan umum, termasuk ketepatan waktu berangkat dan tiba. Jika semua itu terpenuhi, tarif yang mahal tak menjadi masalah utama bagi penumpang. Bahkan para penumpang pun rela berdiri saat heigh season.

Cara berpikir seperti ini yang jarang didapatkan pada aparat di Indonesia. Yang diutamakan selalu pendapatan, tetapi upaya yang harus dilakukan agar masyarakat gemar menggunakan KA dalam perjalanan antarkota sama sekali tidak tampak. Yang dapat dilakukan hanya menurunkan tarif tanpa melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan.

Kalau dibandingkan PTKA, harus diakui memang masih jauh tertinggal. Alih-alih mendapat pelayanan yang maksimal, justru kereta eksekutifnya masih sering terlambat. Bukan sekedar terlambat tiba di tujuan, tapi terlambat datang menjemput penumpang

Dan masalahnya tidak hanya berhenti sampai di situ. Ternyata begitu banyak keluhan yang tidak pernah tertampung, mulai dari sikap petugas yang suka ‘mengemplang’ uang kembalian saat menjual karcis, penumpang gelap, ‘gocengers’ alias naik kereta eksekutif tapi bayarnya hanya Rp 5.000 saja.

Ulah masinis serta kondektur yang suka ‘damai’, fasilitas keamanan yang nol, hingga masih adanya vandalisme alias pelemparan batu oleh oknum tertentu.

Pokoknya melihat wajah kereta api di negeri kita, seperti membayangkan benang kusut. Meski demikian, tetap saja kita hanya bisa pasrah. Habis adanya cuma ini, ya mau bilang apa lagi.

Toh, kereta api di negeri kita masih jauh lebih baik dari naik pesawat yang tiap kali jatuh. Dari pada jatuh, masih mending terlambat. Maka orang-orang pun masih naik kereta api. Apalagi terlambat adalah makhluk yang lazim digunakan orang di seantero negeri. Jadi lengkap sudah penderitaaan.

(bersambung)