Oase Islam, Antara Palembang-Jambi

Ketika meninggalkan kapal, dan menjejakkan kaki di kota Bakahueni, terasa berubah. Jalan dari pelabuhan menuju kota lebar-lebar. Tidak lagi sempit seperti dulu. Tingkat kepadatan kenderaan bertambah. Antrian panjang kendaraan tak putus-putus. Mengangkut barang. Kenderaan pribadi dan umum, seperti bus, yang menghubungkan antar kota di Sumatera, ikut bertambah. Mobilitas barang, jasa dan manusia, semakin cepat. Inilah yang menyebabkan perubahan. Kehidupan tak seperti lima belas  tahun lalu.

Jalan-jalan tidak lagi banyak yang berlubang. Ketika menuju Palembang, hanya di Kabupaten Tulangbawang, ada sedikit jalan yang rusak. Perjalanan dari Bakahueni menuju Palembang sangat menarik. Rumah-rumah penduduk mulai bagus. Tidak seperti dulu lagi. Kadang-kadang masih ada yang sangat sederhana. Terdiri dari atap rumbia. Sekarang sudah jarang sekali. Banyak bangunan rumah yang terdiri dari kayu dan bata, serta nampak bagus. Apalagi, rumah-rumah penduduk asli, yaitu rumah panggung, sangat menarik, dan terasa indah. Mungkin mereka sudah mulai berubah ekonominya. Kanan kiri jalan tumbuhan perkebunan sawit, dan karet, serta tanaman lainnya, yang bermanfaat secara ekonomi. Inilah sebuah perubahan.

Tentu, tak lupa, kini banyak bangunan masjid baru. Sejak meninggalkan Tanjung Karang menuju Palembang, begitu banyak bangunan masjid baru, yang sedang diselaikan, atau sedang dibangun. Tapi, banyak yang sudah selesai, dan digunakan untuk sholat berjamaah. Bagi mereka yang melakukan shafar (perjalanan), masjid-masjid itu, sangatlah bernilai. Istirahat dan shalat. Terkadang terasa meletihkan perjalanan yang panjang itu. Apalagi, kalau menggunakan kenderaan yang tidak menggunakan pendingin. Terasa melelahkan. Udara panas menyengat di siang hari. Selebihnya, tempat-tempat pengisian bahan bakar, sekarang sudah sangat bagus, konsepnya seperti rata-rata di Eropa. Ada tempat makan, tempat istirahat, dan disertai  tempat sholat.

Ketika tiba Palembang menjelang malam. Kotanya hidup. Ramai. Aktivitas manusia luar biasa. Seperti tak pernah henti. Manusia dan kendaraan hilir mudik. Kota Palembang sangat padat. Sekarang kota itu sudah lebih bersih dan indah. Tidak seperti lima belas tahun lalu. Dari Kayu Agung sudah mulai terasa adanya keramaian. Lebih ramai lagi menjelang kota Palembang. Jembatan Sungai Musi, sangat indah di malam hari. Aneka lampu di jembatan Musi, sangat indah di malam hari. Dipinggiran sungai Musi, lampu sangat banyak. Konon, di malam hari, sepanjang sungai Musi, banyak orang-orang berdagang,dan pembelinya, mereka yang ingin menikmati malam hari, dan menggunakan perahu. Indah sekali.

Perlahan-lahan keluar dari kota Palembang. Menuju Sungai Lilin. Sepanjang jalan, kehidupan sangat nampak. Begitu ramai. Aktivitas begitu terasa. Kenderaan yang menghubungkan kota Palembang-Jambi, nyaris tanpa putus. Truk, kenderaaan pribadi, bus, serta motor, terus bergerak. Menandakan adanya dinamika yang sangat cepat. Sampai di Sungai Lilin, perubahan sangat terasa. Masih lima belas tahun yang lau, kota kecil itu sangat sepi. Hanya ada beberapa toko, dan sebuah pasar kecil, di seberang sungai. Kini, kota kecil diseberang Sungai Musi Banyuasin itu, sudah sangat berubah. Toko berderet-deret, yang menjual segala aneka barang kebutuhan. Pasar penuh dengan pembeli. Aneka macam dagangan dijejer. Kehidupan tidak sesulit seperti dulu lagi.

Jalan antara kota Palembang-Jambi, tak kalah menariknya. Jalan yang panjang menghubungkan kota Palembang-Jambi, berkilau dan halus. Jalan sepanjang hampir 350 kilometer itu, lurus, dan tidak berbelok-belok. Luar biasa. Anehnya jalan itu turun naik. Sepanjang jalan yag dilewati seperti itu. Tak lagi kelihatan gersang. Ketika berkunjung ke kota itu, lima belas tahun lalu, masih sangat gersang, hanya tumbuhan perdu, dan sebagian berupa tanah gambut. Tanpa ada tanaman apa-apa. Sekarang sudah berubah. Kanan kiri jalan sudah berubah menjadi kebun sawit dan karet. Sejauh mata memandang, yang nampak hanya kehijauan, dan tanaman kelapa sawit. Itulah pemandangan di lintas Palembang – Jambi. Memang, kebun-kebun sawit dan karet itu belum tentu milik rakyat. Mungkin milik pengusaha di Jakarta.

Sampai di Pesantren As-Salam al-Islam, menjelang malam, pukul 9 malam. Langsung menuju rumah Ustadz Abdul Malik, pendiri pesantren. Disambut dengan hangat. Seperti bersaudara yang sudah lama tidak bertemu. Penuh dengn kehangatan. Sudah lama sekali. Ada kerinduan. Betapa persaudaraan itu pernah tertanam. Keletihan perjalanan dari Tanjungkarang menjadi sirna. Bertemu kembali dengan orang yang sangat berjasa membangun sebuah lembaga pendidikan Islam, yang banyak memberikan manfaat. Termasuk bagi anak-anak transmigrasi. Mungkin pertemuan dengan Ustadz Abdul Malik, berlangsung lima belas tahun lalu.

Dulu, ketika berkunjung ke As-Salam itu, bangunan masih sangat sederhana sekali, dan sebagian atap bangunan sekolah itu rumbia. Santrinya masih sangat sedikit. Belum begitu banyak. Mungkin baru seratusan. Sekarang yang belajar di Pesantren di Sungai Lilin, sudah 1282 santri, putra-putri. Pesantren ini didirikan kakak beradik, Ustadz Abdul Malik, dan adiknya Ustadz Masrur Musir. Keduanya dalam waktu yang panjang dengan penuh kesabaran membangun pesantren. Sampai sekarang. Dan, pesanten As-Salam itu terus berkembang. Muridnya dari penjuru Sumatera. Letaknya berada ditengah-tengah antara Palembang-Jambi. Dengan sendirinya pesantren berkembang, karena tempatnya berada dipinggir jalan raya lintas Sumatera. Orang-orang yang bepergian melewati jalan lintas Sumatera, terkadang mereka berhenti menunaikan sholat, istirahat, sambil melihat-lihat pesantren. Tanpa harus melalukan promosi.

Ustadz Abdul Malik, pribadi yang sangat menarik, memiliki ketegasan sikap, memegang teguh prinsip, tidak mau mengikuti arus, dan selalu menjaga diri. Komitmentnya kepada cita-cita tak pernah pupus oleh keadaan apapun. Kehidupannya di pesantren dijalananinya dengan penuh kejujuran dan kesungguhan. Tak pernah mau ikut kepada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip yang diyakininya, yaitu al-Islam. Sungguh pribadi yang menarik. Ketika berkunjung ke pesantren As-Salam, lima belas tahun yang lalu, dan ketika bertemu kembali, tak ada yang berubah. Rumah yang ditempati masih seperti dulu. Kecil. Terletak di samping masjid. Bangunan terdiri dari kayu. Sangat sederhana. Tak ada sedikitpun nampak kemewahan. Sementara pesantrennya terus berkembang dengan pesat.

Di ujung umurnya yang sudah 22 tahun itu, Pesantren As-Salam bertumbuh, dan sekarang memiliki asset tanah, yang sebagian berupa perkebunan seluas 80 hektar. Pesantren ini berdiri di tahun 1987. Dengan bermodalkan wakaf dari almarhum Abdullah Mukiran, pesantren As-Salam, menjadi sebuah ‘Oase Islam’, yang memberikan pendidikan kepada 1000 santri dari seantero Sumatera. Tanah-tanah yang luas itu, memungkinkan melakukan pengembangan pesantren. Selain, pesantren mendapat biaya dari hasil tanaman karet dan sawit, dan itulah yang sebagian menjadi tulang punggung pesantren. Dan, Ustadz Malik sendiri,terkadang berkebun, yang tak jauh dari pesantren. Bangunan-bangunan lama yang menjadi tempat belajar, terus direnovasi. Dan, tahun ini, 2009, berencana membangun masjid baru, diatas tanah seluas 3000 meter persegi. Sungguh perjalanan yang tak kenal lelah. Semuanya tujuannya hanya ingin membela agama Allah Ta’ala.

Ketika menjelang malam, yang sudah  larut, Ustadz Malik, selalu mengutarakan pandangannya, betapa pentingnya berda’wah, yang akan menjadi pintu masuk ke dalam surga-Nya. Dakwah adalah sebuah amalan, yang tak pernah ada ruginya, dan akan membawa manusia bertemu dengan kekasihnya Allah Azza Wa Jalla, penuh dengn kelapangan. Pendiri pesantren itu, bersyukur dengan adanya lembaga pendidikan di Sungai Lilin ini, karena alumni Pesantren As-Salam itu, sudah banyak yang memiliki ilmu agama, yang baik. Ada diantara mereka yang melanjutkan sekolah ke luar. Seperti Mesir, Madinah, Yaman dan Sudah. Jumlahnya sudah lebih dari 100 orang santri. Sebuah generasi baru, pasti akan lahir. Semuanya tidak ada yang sia-sia.

Ustadz Abdul Malik, Ustadz Masrur Musir, Ustadz Isno Jamal, dan Ustadz Zainuddin AS, mereka adalah para pionir, yang sanggup hidup di tengah-tengah kelengangan, tanpa ada keramaian. Seperti kehidupan di kota-kota besar. Mereka bersabar. Mereka tak pernah berkeinginan meninggalkan ladang amal, yang sangat berharga itu. Di tengah-tengah hiruk-pikuk, manusia berlomba ingin mengecap manisnya kehdupan dunia, mereka tetap istiqomah dan selalu bersabar. Dan, mereka tetap bertahan hidup di pesantren As-Salam, bersama para santri.

‘Oase islam’ di antara kota Palembang-Jambi, yang akan melahirkan generasi baru, dan menjadi tumpuan masa depan umat. Semoga. Wallahu’alam. ([email protected])