Puasa di Negeri Sakura (11): "Agama Butuh Adaptasi?"

Hari kesebelas, hawa panas masih memeluk erat kaum muslimin yang tengah berpuasa di negeri sakura. Suhu luar ruangan di Hakusan, tempat saya tinggal, menunjukkan angka 37oC pada pukul 13.00. Suhu yang terlalu panas cukup untuk melemahkan semangat beraktifitas. Orang Jepang menyebutnya “Natsu Bate”, suhu yang terlalu panas menguras begitu banyak energy sehingga orang malas melakukan banyak hal di luar rumah.

Sebagai seorang muslim, satu hal yang kita harus selalu yakin adalah bahwa Allah swt telah memberikan takaran yang pas, tidak ada kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada ummatnya kecuali ummatnya mampu untuk melaksanakannya. Jika dianggap tidak semua manusia akan mampu melaksanakannya maka kewajiban tersebut pasti akan diberikan pengecualian.

Meski panas luar biasa, meski berat begitu terasa, saya selalu berusaha meyakinkan anak-anak saya bahwa mereka mampu untuk melaksanakannya. Nasywa yang bulan depan akan berumur 6 tahun, masih semangat berpuasa meski sebentar-sebentar membuka pintu kulkas sambil berucap,”enak nih panas-panas minum”. Mungkin impian-impian akan hadiah yang diterimanya bila mampu menyelesaikan puasanya membuat Nasywa terus terpompa semangatnya.

Sore ini, dengan bersepeda, kami meluncur ke mesjid Otsuka. Sejak kemarin memang anak-anak ingin “safari” masjid dengan sepeda. Setelah sekitar 30 menit mengayuh sepeda kami sampai di masjid Otsuka. Masjid ini termasuk masjid yang tertua di Tokyo yang pembangunannya di inisiasi oleh muslim Pakistan di Tokyo. Masjid ini menjadi salah satu basis da’wah muslim Pakistan di Tokyo. Banyak diantara mereka yang menikah dengan orang Jepang dan mereka tinggal di sekitar masjid agar selalu bisa menghidupkan dan meramaikan masjid. Anak-anak mereka juga diajarkan untuk akrab dengan masjid, berbagai kegiatan untuk anak-anak dikembangkan, dari mulai belajar Qur`an sampai kamping bersama dengan anak-anak Jepang.

Hari ini kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama dengan saudara-saudara Pakistan ini di masjid Otsuka. Kare Ayam khas Asia Selatan menjadi menu utama buka puasa hari ini. Saya dan anak pertama saya Haidar duduk melingkar bersama beberapa muslim Pakistan. Satu nampan untuk 4 orang, kami makan bersama, hal ini mengingatkan saya pada saat pertama saya ikut pesantren kilat beberapa belas tahun lalu.

Saat kami makan bersama dalam satu nampan, ada yang menarik dari brother Pakistan yang duduk di sebelah saya. Dia mengeluarkan satu botol berisi garam kemudian menuangkannya ke makanan di nampan yang dekat dengan sendoknya. Saya tanya mengapa dia menambahkan lagi garam. Dia bilang,” saya selalu membawa garam dalam tas saya. Garam ini yang membuat apa yang saya makan menjadi lebih terasa lezatnya”. Baru kali ini saya bertemu ada orang “kecanduan” garam.

Bagi yang pertama kali datang ke Jepang dan makan makanan Jepang memang akan merasa hambar dengan makanan Jepang. Lidah orang Jepang memang berbeda dengan lidah orang-orang Asia lainnya yang sangat suka pada rasa bumbu yang kuat. Orang jepang tidak suka hal yang terlalu manis, itulah salah satu sebab mangga Indonesia yang rasanya manis, yang sangat disukai orang Indonesia, tidak mampu bersaing dengan mangga philipina yang kemanisannya sudah diadaptasi dengan selera orang Jepang.

Orang Jepang juga tidak suka yang terlalu asin, terlalu pedas, terlalu gurih. Sehingga banyak makanan yang harus diadaptasi, termasuk dengan kare India. Menurut teman yang duduk di sebelah saya Kare di Jepang ini rasanya hambar, jadi saya perlu memberi tambahan garam.

Adaptasi memang diperlukan dalam kerangka menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memiliki perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan budaya dan selera. Adaptasi tentu berbeda dengan metamorphosis. Adaptasi hanya melibatkan atribut sementara metamorphosis melibatkan perubahan identitas dan jati diri secara fundamental. Proses metamorphosis dapat kita lihat pada perubahan yang terjadi dari ulat, kepompong dan kupu-kupu. Ulat dan Kupu-kupu adalah dua mahluk yang bebeda identitas, berbeda jatidiri.

Adaptasi sedianya tidak menghilangkan jati diri. Kare India yang dikurangi rasa asin dan pedasnya tetap menjadi Kare India karena identitas utama Kare tidak hilang. Ketika Kare India dihilangkan airnya misalnya, tentu hal ini merupakan perubahan mendasar yang menyebabkan makanan tersebut berganti identitas dan tidak bisa lagi disebut kare India. Hal yang seperti ini tidak bisa disebut adaptasi melainkan metamorphosis, perubahan yang melibatkan ciri dasar sehingga menyebabkan perubahan identitas. Begitu juga mangga yang dikurangi rasa manisnya, dia tetap menjadi mangga selama tidak kehilangan jati diri ke “mangga” an nya yang sesuai dengan ciri-ciri dan prasyarat buah untuk bisa disebut mangga.

Banyak orang-orang gandrung dengan kata adaptasi ini, sampai-sampai ada sekelompok orang yang merasa agama dan praktek keberagamaan juga perlu diadaptasi. Sehingga agama yang sejatinya bersifat universal dipaksa menjadi bersifat lokal. Tapi sayangnya apa yang dikatakan sebagai proses adaptasi ini sebenarnya bukan adaptasi tapi metamorphosis. Kalau di Indonesia orang sholat menggunakan Sarung dan Peci hitam sementara di Arab menggunakan Jubah, maka kita bisa menyebutnya sebagai proses adaptasi. Kalau masjid di suatu negara ada kubahnya, di negara lain tidak berkubah, ini adalah adaptasi. Dan adaptasi, penyesuaian-penyesuaian dalam hal atribut semacam ini sama sekali tidak terlarang. Tapi kalau agama mengajarkan sholat 5 waktu, haji ke mekkah di bulan haji, tuhannya Allah dan nabinya Muhammad, namun atas nama adaptasi mereka merubahnya misalnya haji boleh ke kota lain selain mekkah atau boleh pada waktu lain diluar bulan haji, dan percaya ada nabi lain setelah Muhammad SAW, tentu ini bukanlah proses adaptasi, melainkan proses metamorphosis, proses perubahan Identitas. Sebagaimana Kupu-kupu tidak bisa disebut Ulat, maka jika ada yang memaksakan perubahan-perubahan terhadap ajaran dasar Islam, maka kita tidak bisa menyebutnya sebagai Islam.

Ini hanyalah premis sederhana, mudah-mudahan kita tidak terkecoh pada orang-orang yang mengkampanyekan proses adaptasi dalam agama, padahal sebenarnya mereka tengah berusaha merubah identitas dasar dari agama itu sendiri. Islam yang sejatinya agama universal sesungguhnya compatible dengan manusia di berbagai belahan dunia, adaptasi tentu boleh dilakukan, tapi metamorphosis sama sekali tidak diperlukan. Wallahu`alam (Mukhamad Najib)