Puasa di Negeri Sakura (12): "Hakikat Kemanusian Kita"

Jum`at ke dua ramadhan 1432, hari masih sangat terik, ketika Saya dan anak pertama saya, Haidar, bergegas menuju kampus untuk sholat jum’at. Selain sholat Jumat di kampus, hari ini memang kami berencana untuk buka puasa bersama di kampus. Buka puasa bersama yang dilakukan oleh komunitas muslim di universitas ini dilakukan setiap tahun dengan mengundang mahasiswa dan dosen-dosen yang orang Jepang. Acara ini memang bagian dari upaya komunitas muslim di sini untuk mengenalkan Islam dan budaya Islam.

Paling tidak kami memiliki tiga event besar dalam satu tahun yang digunakan untuk mengenalkan Islam kepada orang Jepang. Pertama seminar tentang nabi Muhammad SAW. Dengan acara ini kita ingin mengenalkan sosok manusia agung yang bisa menjadi role model bagi semua manusia, termasuk bagi orang-orang Jepang. Kedua mengenalkan khasanah budaya Islam melalui pengenalan makanan yang dilakukan saat Mei Fastival berlangsung di kampus. Dan ketiga adalah yang baru saja kami adakan, yaitu buka puasa bersama dengan mengundang orang-orang Jepang.

Sebelum berbuka puasa, dilakukan seminar kecil mengenai Islam dan puasa untuk orang-orang Jepang yang ingin mengenal Islam dan budaya Islam. Jumlah orang Jepang yang hadir yang terdiri dari mahasiswa dan dosen pada tahun ini cukup banyak. Ruang kelas berkapasitas 60 orang terisi penuh oleh orang-orang Jepang.

Salah seorang Japanese Muslim menyampaikan makna puasa, yang menurutnya puasa sesungguhnya menyadarkan kita tentang hakikat kemanusiaan kita. Manusia berbeda dengan Hewan yang melulu hanya menuruti hawa nafsu, tapi manusia juga bukan malaikat yang sama sekali tidak memiliki hawa nafsu. Manusia adalah makhluk yang dikaruniai nafsu namun dituntut untuk mampu mengendalikan nafsunya. Pada saat puasa, kita merasakan betapa kita memiliki keinginan yang kuat akan kebutuhan yang fisik berupa makan dan minum. Allah swt menunjukkan jati diri kita sebagai manusia yang dilengkapi dengan nafsu. Namun Allah swt memberi tantangan kepada kita untuk bisa membuktikan bahwa jati diri kemanusiaan kita sebagai makhluk yang memiliki nafsu sesungguhnya berbeda dengan hewan, karena manusia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk keluar dari hegemoni hawa nafsu. Manusia menjadi sebenar-benarnya manusia, menjadi sesejati-sejatinya manusia ketika mereka mampu melepaskan diri dari penjara-penjara hawa nafsunya.

Jepang, negeri maju yang mendasarkan kebijakan publiknya pada penghargaan pada kebebasan, merupakan negara dengan peradaban material yang hampir sempurna. Mereka kaya, mereka maju dan modern, dan pada saat yang sama mereka tidak merasa terikat pada hukum-hukum Tuhan, bahkan eksistensi Tuhan sendiri mereka ragukan. Dalam situasi ini, dimana kebebasan bertemu dengan kemajuan material, manusia memiliki ruang yang luas untuk bisa mengekspresikan segala tuntutan hawa nafsunya. Kalau di Indonesia misalnya, orang boleh memiliki hawa nafsu yang tinggi, tapi belum tentu mereka bisa mengekspresikan tuntutan hawa nafsunya dengan sempurna karena banyaknya keterbatasan. Contoh sederhana misalnya, banyak orang ingin memiliki makanan yang cukup bahkan berlebih, tapi tidak banyak orang Indonesia yang bisa memenuhinya. Hal yang seperti ini tidak terjadi di Jepang. Dengan kekayaan material yang mereka miliki mereka bisa membeli makanan sesuai dengan nafsu yang mereka miliki. Tidak ada keterbatasan dan tidak ada pembatasan.

Oleh karena itu puasa bagi orang Jepang juga bermanfaat untuk berlatih mengendalikan hawa nafsunya. Karena manusia yang tak mampu mengendalikan nafsunya sangat berpotensi untuk menjadi manusia destruktif. Nafsu yang tak terkendali terhadap makanan menyebabkan overweight bahkan obesitas. Nafsu yang tidak terkendali dalam hal eksploitasi lingkungan menyebabkan stabilitas lingkungan tergoncang. Nafsu yang tidak terkendali dalam hal konsumsi, menyebabkan banyak keluarga bahkan negara mengalami krisis dan kebangkrutan. Nafsu korupsi yang merajalela telah merampas hak rakyat untuk bisa hidup lebih sejehtera.

Semoga puasa kali ini membantu kita dalam menemukan hakikat kemanusiaan kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Dan letak kesempurnaan manusia dibanding hewan atau malaikat sekalipun tidak lain karena manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya. Semoga. (Mukhamad Najib)