Puasa di Negeri Sakura (3): “Puasa dan Kelaparan”

Pukul 15.00 saya bertemu professor saya. Maksud utama sebenarnya ingin mananyakan draft disertasi yang sudah saya berikan dua minggu lalu. Tapi rupanya professor saya sedang kurang berkenan untuk diajak bicara soal draft saya itu. “kamu masih punya cukup waktu, nikmatilah liburan musim panas ini”, begitu dia bilang saat saya tanya bagian mana yang kurang atau perlu saya perbaiki. Akhirnya kami bicara hal-hal lain di luar topik penelitian saya.

“Bagaimana menurut kamu tentang kemiskinan di Somalia”, tanya professor saya. Belum sempat saya memberi komentar professor saya langsung menjawab sendiri pertanyaannya. Dia bilang, “kasihan sekali, mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk bisa menyediakan pangan bagi rakyatnya. Lahan-lahan yang tandus, keuangan negara yang tidak memadai dan kurangnya sumberdaya baik manusia maupun teknologi melahirkan kemiskinan yang berkepanjangan dan sangat menyedihkan”.

Saya diam sambil terheran-heran mengapa professor saya mengajak saya bicara soal ini. Karena biasanya, saat saya bertemu, yang kami bicarakan hanyalah seputar penelitian saya dan kampus, kalaupun ada yang lain paling-paling dia hanya menanyakan soal keluarga saya.

“Sebagai akademisi, sebagai intelektual, kita harus bisa memberi solusi untuk menyelesaikan masalah kelaparan dan kemiskinan, minimal kita harus menunjukkan kepedulian”, tambahnya. Setelah bicara beberapa hal saya keluar ruangan professor sambil terus memikirkan ucapan professor saya tadi. Ya, kemiskinan dan kelaparan memang tengah menjadi masalah besar di sebagian besar wilayah afrika termasuk di Somalia beberapa waktu ini.

Sebenarnya, kelaparan dan kemiskinan telah menjadi berita yang tidak pernah selesai sejak beberapa puluh tahun ini. Masalahnya berita seringkali hanya tinggal berita yang lewat didepan mata dan ditelinga tanpa melahirkan getar empati yang membuahkan aksi. LSM-LSM, lembaga-lembaga internasional maupun pemerintah di berbagai negara rajin mendikusikan kemiskinan dan kelaparan.

Sebagian berhenti pada tataran diskusi, sebagian lagi melahirkan tindak lanjut berupa projek-projek kemiskinan namun kemiskinan dan kelaparan datang dan datang lagi. Hal ini menandakan belum adanya solusi komprehensif yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelaparan.

Pada tataran teoritik masalah kemiskinan dan kelaparan menjadi perdebatan yang tak pernah selesai dikalangan ahli, baik mengenai penyebab maupun bagaimana penyelesaiannya. Namun kalau kita bicara pada level yang sederhana, sebenarnya kemiskinan dan kelaparan seringkali terjadi karena banyaknya manusia-manusia yang tak punya hati dan empati. Bagi mereka kemiskinan hanya menjadi komoditas politik atau sekedar menjadi bahan diskusi dan seminar tanpa I’tikad yang serius dan tulus untuk menyelesaikannya.

Orang-orang tak berhati dapat kita lihat dengan kasat mata misalnya ketika terjadi bencana, rakyat susah tinggal ditenda-tenda, kekurangan bahan pangan, tapi pada saat yang sama ada pejabat yang tega mengkorupsi dana bencana. Koruptor-koruptor sejatinya adalah manusia tak berhati yang tidak memiliki empati sama sekali. Bagaimana tidak, ketika 40 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, mereka merampas uang negara yang sejatinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan.

Dalam ilmu pengetahuan, kita mengenal apa yang kita sebut dengan tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang hanya bisa kita pahami secara baik kalau kita melakukannya sendiri. Contohnya mengenai lapar. Definisi kata lapar mungkin bisa dijelaskan oleh ahli-ahli gizi atau kesehatan. Namun hakekat lapar sendiri sesungguhnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Memahami kata lapar hanya bisa dilakukan secara sempurna jika kita secara langsung merasakan lapar.

Puasa melatih kita untuk mencapai pemahaman yang sempurna mengenai hakekat lapar. Dengan pemahaman yang sempurna ini diharapkan bisa melahirkan empati kepada orang-orang yang lapar berkepanjangan melebihi batas waktu puasa seperti yang terjadi di Somalia atau bahkan mungkin terjadi juga di Indonesia. Puasa karenanya juga melatih kita untuk senantiasa menjadi manusia berhati yang selalu peka terhadap masalah-masalah kelaparan yang terjadi di sekitar kita. Manusia berhati adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsu serakahnya karena memiliki empati yang luar biasa.

Jika manusia berhati telah lahir dan mendominasi kehidupan dunia ini, maka masalah kemiskinan dan kelaparan sesungguhnya akan mudah diatasi, karena manusia berhati akan dengan senang hati berbagi rizki, sementara manusia tak berhati senang sekali mendominasi rizki bahkan merebut rizki yang bukan haknya.

Sebenarnya dunia ini cukup untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Mahatma Gandhi “dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan manusia”. Jadi tidak ada alasan yang bisa dibenarkan dari terjadinya kelaparan kecuali telah hilangnya hati dan empati yang melahirkan kemauan berbagi. (Mukhamad Najib)