Belajar Dari CIA

Mengapa? Sebab Prof Hagard berkeyakinan bahwa kejeniusan Lawrence yang begitu mendalami budaya Arab sejak pra Islam hingga ke era Islam, amat berguna untuk merajut sebuah persatuan berbagai suku-suku Arab untuk membantu Inggris melawan Turki Ustmani.

Prediksi Hagard terbukti tepat. Inggris dengan dukungan bersenjata dari berbagai suku Arab di Timur Tengtah, berhasil mengalahkan Turki. Keberhasilan merekrut Lawrence sebagai agen intelijen Inggris dan berhasil membuahkan karya bersejarah. Bukan saja berhasil menggalang kekuatan berbagai suku-suku arab yang berbeda, melainkan juga berhasil membangun dua negara arab yang kelak cukup penting di Timur Tengah. Irak dan Yordan. Melalui sebuah klan keluarga yang menginduk pada Syarif Hussein bin Ali.

Satu lagi cerita tentang keberhasilan sebuah komunitas intelijen AS-Inggris menanamkan agen andalannya di Indonesia. CIA, yang menurut perkiraan saya berkoordinasi dengan mitranya di Eropa Barat, merekrut seorang berkebangsaan Jerman. Lantas kemudian menanam dirinya sebagi agen intelijen di Indonesia sebagai General Manager hotel hotel berkelas di beberapa kota di seperti Jakarta, Surabaya dan bahkan Bali. Orang paling tahunya dia hanya ayah dari seorang artis kebarat-baratan yang selalu ngomong setengah Indonesia setengah Inggris.

Inti seluruh rangkaian cerita tadi adalah, betapa vitalnya jaringan terorganisir dan komunitas sebagai landasan pergerakan operasi intelijen mauoun berdirinya sebuah organ intelijen.

Kita di Indonesia, intelijen berarti sekadar organ intelijen seperti BIN atau Badan Intelijen Strategis (BAIS), namun tidak didasari terbentuknya sebuah komunitas intelijen terlebih dahulu.

Sehingga mindset atau pola pikir yang secara alamiah dan terbangun di bawah sadar para aparat intelijen, mereka mewakili sebuah organ tak ubahnya seperti TNI mewakili Mabes TNI atau Polisi mewakili Mabes Polri. Yang notabene kedua institusi negara tersebut memang bersifat transparan dan terbuka baik profil kelembagaannya maupun sosok para personilnya.

Alhasil, apa yang terjadi dalam insiden Neno Warisman di Riau, seperti terungkapnya pengawalan beberapa aparat BIN setempat terhadap Neno dengan menyelipkan pistol di pinggangnya, hanya sekadar konsekwensi dari pola pikir dan cara pandang para pimpinan intelijen dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat intelijen negara.

Dengan begitu, jangankan untuk mengnali dan mendeteksi potrnsi ancaman strategis dari negara-negara asing, bahkan dalam perkembangannnya seringkali tumpag tindih dengan kerja-kerja aparat TNI maupun Polri yang sejatinya bersifat terbuka dan transparan baik kiprah kelembagaannya maupun para personilnya.

Bahkan yang lebih prinsipil lagi, tugas pokok dan fungsi intelijen yang sejatinya untuk mencegah sebuah kejadian atau peristiwa, seringkali justru malah memprovokasi timnulnya kejadian.

 

Dalam kasus Neno, dari kacamata intelijen, adalah untuk mencegah artis kondang itu datang ke Riau. Namun yang terjadi dengna ulah para anggota BIN setempat, malah memicu eskalasi dukungan pada Neno, sehingga dia justru malah benar-benar tiba di Riau.

Namun lepas dari itu semua, mari kita kembali ke hulu. UU intelijen kita, melalui pasal-pasalnya,, sama sekali tidak memberi arah dan pedoman ihwal profil komunitas intelijen yang kita inginkan. Sehingga tak ada gambaran sama sekali sebagai dasar, apalagi sumber inspirasi, untuk membentuk komunitas intelijen.

Alhasil, organ intelijen yang kita bangun saat ini, tidak didasari suatu jaringan tersusun yang terorganisir yang mana kemudian jadi sebuah komunitas intelijen. Sehingga jejak-jejak sebuah operai intelijen dengan mudah gampang terlacak. Karena dalam setiap operasi yang melibatkan aparat intelijen, selalu dengan mudah bisa terindentifikasi sebaai agen-agen binaan BIN atau BAIS.

Sebab semua operasi selalu ditanani langsung oleh agen-agen dari instansi. Berbeda dengan kasus John Perkins, Economic Hitman binaan CIA pada 1970-an. Ketika dirinya dinyatakan gagal lulus tes bergabung dengan CIA, tiba-tiba dirinya dikontak oleh seorang staf dari perusahaan swasta yang kelak dikenal dengan MAIN. Perusahaan yang bergerak dalam jasa konsultan dan riset. Padahal, pada kenyataanya, seperti kesaksian Perkin sendiri, MAIN merupakan paralel company yang juga merupakan satelit dari CIA yang bergerak di bidang bisnis dan jasa konsultan. Dari AMIN inilah, Perkins direkrut CIA untuk mendorong para pemimpin negara-negara berkembang, untuk berhutang kepada Bank Dunia. Sehingga ketika tidak sanggup membayar hutang, maka badan dunia maupun negara-negara maju tersebut bisa mengatur dan mendikte kebijakan ekonom dan keuangan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Begitulah. Tidak adanya sebuah profil komunitas intelijen kita, maka kita pun kemudian tidak punya kepekaan intelijen untuk melakukan kontra intelijen terhadap operasi-operasi intelijen asing yang seringkali mendayagunakan jaringan dan komunitas intelijennya, untuk menembus sektor-sektor non militer negeri kita. Seperti Politik-Ekonomi, Sosial-Budaya dan bahkan Hankan itu sendiri.(kl/aktual)

Hendrajit, Redaktur Senior.