Andai Ben Gurion dan Ehud Barak Seorang Palestina

David Ben Gurion merupakan salah satu legenda Zionis-Israel. Dia dijuluki ‘George Washington dari Israel’. Lahir pada 16 Oktober 1886 dari keluarga Yahudi Fundamentalis di Polandia yang saat itu masih menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Ayayhnya, Avigdor Gruen merupakan seorang tokoh gerakan Zionis. Ibunya mati saat dia berusia 11 tahun.

Ben Gurion sejak kecil tumbuh menjadi seorang zionis dan sosialis. Pada tahun 1906 dia memutuskan pindah ke Palestina karena tidak tahan dengan gerakan-gerakan anti Yahudi yang marak di selatan Eropa. Di Palestina Ben Gurion menjadi petani jeruk bersama-sama pendatang Yahudi lainnya. Dari Palestina, pada tahun 1912, Ben Gurion berangkat ke Turki untuk menuntut ilmu di Universitas Istanbul dan menjadi seorang jurnalis di wilayah Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Keberadaannya di Turki tidak bertahan lama. Gurion diusir keluar dari Turki karena aktivitas terorismenya.

Gurion kemudian berangkat ke Amerika Serikat dan bergabung dengan orang-orang Yahudi Amerika. Dalam Perang Dunia I, David Ben Gurion (Singa Raja Daud) bergabung dengan legiun Yahudi Amerika yang bertempur di bawah tentara Inggris di Palestina.

Sejak itulah Gurion bersama teroris Zionis lainnya berusaha keras merebut Tanah Palestina dan menjadikannya sebagai ‘negara’ Israel. Tahun 1947, PBB secara sepihak memutuskan bahwa rakyat Palestina harus memberiu sebagian wilayahnya kepada Zionis-Yahudi. Ben Gurion diangkat menjadi Perdana Menteri Israel yang pertama dan membacakan teks proklamasi pendirian Israel pada tahun 1948.

Seorang Ben Gurion adalah seorang teroris, Zionis sejati, yang selalu merasa benar dan berhak atas berdirinya negara Israel di Tanah Palestina. Walau untuk itu dia harus memimpin kelompok-kelompok terorisnya untuk membantai, membunuh, memperkosa, dan mengintimidasi rakyat Palestina agar terusir dari tanahnya sendiri.

Menariknya, Ben Gurion sesungguhnya paham benar dengan apa yang dia lakukan dan bisa memahami perlawanan dari orang-orang Palestina terhadap Zionisme. Ada sebuah pengakuan dari seorang Ben Gurion yang sangat menarik. Kepada Nahum Goldman, Presiden Kongres Yahudi Internasional, Ben Gurion mengatakan:

“Jika saya adalah pemimpin bangsa Arab, saya takkan pernah sudi berunding dengan Israel. Ini lazim dan sudah semestinya. Bukankah Israel telah mengambil tanah mereka? Kita ini beradal sari Israel, tapi dua ribu tahun lalu, bagi mereka tanah ini apa artinya? Memang, ada gerakan-gerakan anti Yahudi seperti Nazi dan Auschwitz, tapi apa salahnya bangsa Arab kepada kita? Mereka hanya dapat melihat satu hal: orang-orang Yahudi datang dan mencuri tanah air mereka. Mengapa mereka harus menerima ini?”

Pengakuan Ben Gurion tersebut dikutip oleh John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam artikel “The Israel Lobby and US Foreign Policy”.

Bahkan dalam artikel yang sama, juga dikutip pengakuan dari Ehud Barak yang sekarang ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel, yang mengatakan, “Seandainya saya dilahirkan sebagai seorang Palestina, saya akan ikut berjuang bersama organisasi teroris untuk merebut kembali tanah ini. ”

Dua pemimpin besar Zionis telah mengatakan hal sesungguhnya yang harus dilakukan para pemimpin Arab, para pemimpin negeri-negeri Islam, orang-orang yang bersimpati pada perjuangan membebaskan Tanah Palestina dari penjajahan Zionis-Israel. Andai mereka sebagai orang Palestina, maka mereka akan ikut dalam perjuangan bersenjata untuk mengusir penjajah negeri mereka dan tidak akan mau dan tidak akan sudi melakukan perundingan dengan musuh mereka.

Jika hal ini dikorelasikan dengan konferensi Annapolis yang diselenggarakan pada 26-27 November, maka alangkah bodohnya orang-orang Arab, orang-orang Islam, yang sudi hadir dalam konferensi tersebut. Para tokoh Yahudi Israel dan Yahudi Amerika seperti Bush akan menertawakan kekonyolan ini dari balik kedok yang mereka kenakan. Mereka akan berkata dalam hati, “Alangkah gobloknya orang-orang Arab dan orang-orang Islam ini yang mau hadir dalam konferensi yang tidak ada manfaatnya bagi mereka!”

Bagaimana SBY-JK? Bukankah akan jauh lebih baik mengurus ‘rasa sayange’ dan ‘tari reog’ yang diklaim Malaysia “The Trully Maling Asia” sebagai miliknya? Jika mengurus hal sepele saja tidak bisa, tidak usah berlagak jumawa mau ikut berperan aktif dalam masalah yang sangat pelik tersebut.

Kalau Indonesia sudah tidak punya utang besar, jika negeri ini sudah berani menembak mati koruptor dan keluarganya seperti yang dilakukan negeri komunis bernama RRC, jika Indonesia para pejabatnya sudah berani miskin demi mensejahterakan rakyatnya seperti yang dilakukan negeri kaya bernama Belanda, bukan terbalik seperti terjadi selama ini, maka barulah Indonesia bisa jumawa berperan di forum internasional. Jika mau berhayal, janganlah konyol dan berlebihan, karena bisa-bisa nanti kita disangka orang lain benar-benar sinting. Ini repot nantinya.(Rizki)