di Balik Pembakaran Buku-Buku Sejarah (Bag.1)

Kamis (6/9), Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Karawang membakar 1. 080 buku sejarah untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK dari berbagai macam penerbit.

Kepala Kejari Karawang Suwarsono SH mengatakan, pembakaran buku sejarah itu dilakukan pihaknya sesuai dengan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Kep-019/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 tentang Larangan Beredarnya Cetakan Buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/MTS dan SMA/MA/SMK yang mengacu kepada kurikulum 2004. Pembakaran buku sejarah itu disaksikan sejumlah jaksa dan pejabat dari kepolisian setempat.

Saat di tanya wartawan mengapa buku-buku itu dibakar, Suwarsono, SH, hanya menyatakan, "Kami hanya melaksanakan SK Jaksa Agung yang melarang beredarnya buku-buku sejarah. Buku pelajaran sejarah yang tidak memuat tentang G-30 S/PKI merupakan salah satunya buku yang dimusnahkan. ”

Sampai hari ini, entah sudah berapa ratus ribu buku sejarah yang dibakar dengan alasan materinya tidak memuat G-30 S/PKI. Penerbit jelas merugi besar, demikian pula penulisnya. Namun yang lebih memprihatinkan sebenarnya adalah kenyataan bahwa sesungguhnya hal ini membuktikan bahwa rezim totaliter Orde Baru masih berkuasa, walau Suharto telah lengser. Terlalu naif jika rezim Orde Baru hanya dialamatkan kepada Suharto, padahal tiga partai politik besar zaman Orde Baru masih saja bebas.

Hanya karena buku-buku sejarah tersebut tidak memuat peristiwa G30 S/PKI, maka buku-buku tersebut harus dibakar dan dimusnahkan. Sayang, memang. Padahal jika ingin meluruskan sejarah, jika ingin sungguh-sungguh memaparkan sejarah apa adanya, maka ada banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang layak diluruskan, termasuk kasus terbunuhnya para jenderal di Jakarta saat menjelang subuh pada 1 Oktober 1965.

Tulisan ini tidak akan menyorot soal benar tidaknya peristiwa G 30 S/PKI, apakah itu memang pemberontakannya PKI atau malah pemberontakannya Suharto yang dibantu CIA. Tulisan ini tidak membahas masalah tersebut. Namun tulisan ini lebih menitik beratkan pada fakta-fakta yang disembunyikan seputar peran umat Islam dalam sejarah Indonesia, baik masa kerajaan, masa merebut kemerdekaan, dan juga masa mempertahankan kemerdekaan.

Jujur saja, banyak sekali peran umat Islam Indonesia yang dirampok dan dikubur dalam-dalam oleh tangan-tangan kekuasaan, sehingga sampai hari ini pun yang sampai kepada anak-anak kita adalah “His-Story”, kisahnya para penguasa, bukan “History”, bukan Sejarah itu sendiri.

Mudah-mudahan, tulisan ini sedikit banyak bisa membangkitkan memori kita kembali betapa besar peran umat Islam dalam mendirikan dan menjaga negeri ini. NKRI ada karena umat Islam. Bahkan fakta sejarah membuktikan bahwa NKRI banyak dirongrong oleh golongan yang lain.

Di antara banyak peristiwa yang terjadi namun digelapkan sampai sekarang akan dipaparkan di bawah ini. Mudah-mudahan, penulisan sejarah kita bisa tergerak hatinya untuk berhenti menuliskan kisah-kisah penuh dusta dan mau menuliskan fakta-fakta sejarah yang sunguh-sungguh terjadi. Inilah di antaranya:

Hapus Teori Gujarat!

Teori yang menyatakan Islam baru masuk ke Indonesia pada baad ke-14 dari Gujarat, India, harus dihapuskan. Teori bikinan orientalis kafir Belanda, Snouck Hurgronje, ini jelas salah besar. Sejarahwan Ahmad Mansyur Suryanegara telah menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat pedagang-pedagang Nusantara yang telah berniaga hingga ke Syams di saat Rasulullah SAW masih hidup. Para pedagang dari Nusantara telah menjalin kerjasama yang erat dengan para pedagang Arab bahkan sebelum Rasulullah dilahirkan!

Teori Gujarat jelas dibikin agar umat Islam Indonesia tidak memiliki kebanggaan terhadap Islam dan tanah airnya. Padahal Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya, yakni saat Rasulullah masih hidup.

Sejarahwan G. R Tibetts telah menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara di abad kelima masehi, saat Nabi Muhammad SAW belum lahir. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi. (Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Penulis Malaysia, Dr. Ismail Hamid dalam “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” terbitan Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet. 1, 1989, hal. 11).

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. (Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996; Hal. 4-5).

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)